MOLAN, Gregorius Gajak (2021) Korban Darah Dalam Acara Pembangunan Korke Di Desa Riangkemie Dan Korban Ekaristi: Sebuah Studi Perbandingan. Undergraduate thesis, IFTK Ledalero.
Text
ABSTRAK.pdf Download (891kB) |
|
Text
BAB I.pdf Restricted to Registered users only Download (444kB) |
|
Text
BAB II.pdf Restricted to Registered users only Download (465kB) |
|
Text
BAB III.pdf Restricted to Registered users only Download (677kB) |
|
Text
BAB IV.pdf Restricted to Registered users only Download (474kB) |
|
Text
BAB V-DAFTAR PUSTAKA.pdf Download (439kB) |
Abstract
Nilai-nilai yang terdapat pada Kurban Ekaristi maupun dalam ritus Korban Darah tidak serta merta disimpulkan memiliki kesamaan konseptual dan praksis pelaksanaannya. Sebab itu, dalam batas-batas dan kaidah-kaidah tertentu mesti dilakukan inkulturasi, yakni suatu interaksi antara iman Katolik dengan kebudayaan asli sehingga terjadi kebudayaan baru yang Kristiani. Dalam masyarakat Riangkemie, inkulturasi berarti interaksi antara nilai-nilai Kristiani (Katolik) dengan kebudayaan asli sehingga terjadi kebudayaan baru, yakni kebudayaan Kristiani. Dalam kebudayaan yang baru itu, masyarakat Riangkemie menjadi Katolik tanpa kehilangan identitas mereka yang lokal. Kurban darah binatang pada Nubanara selain sebagai kurban pelunas kesalahan, juga sebagai kurban yang memulihkan kembali hubungan yang telah rusak oleh kesalahan manusia terhadap Wujud Tertinggi, para leluhur dan sesamanya. Perbaikan hubungan itu membuat manusia menjadi layak untuk mengambil bagian dalam perjamuan kurban pada Nubanara. Sebagai siksa atas kesalahan itu. Manusia mengurbankan seekor binatang sebagai pengganti atas kesalahan. Pemberian itu merupakan syarat mutlak yang diperlukan manusia untuk turut membawakan kurban demi keselamatan. Di sini jelas bahwa kurban merupakan sarana keselamatan, sarana yang mendamaikan manusia dengan Wujud Tertinggi, leluhur dan sesamanya, juga manusia dengan alam apabila terdapat ketidakharmonisan hubungan. Sedangkan Istilah “darah Kristus” digunakan beberapa kali di Perjanjian Baru sebagai ungkapan atas kematian Yesus sebagai korban persembahan dan penebusan dosa dalam mewakili manusia. Istilah ini digunakan karena Yesus benar-benar mencurahkan darah-Nya di atas kayu salib. Ia berdarah dan mati bagi orang berdosa. Darah Kristus memiliki kuasa untuk menebus segala dosa yang dilakukan segala manusia dari segala jaman, yang menaruh imannya kepada darah penebusan ini sehingga bisa diselamatkan. Realitas darah Kristus sebagai sarana penebusan dosa terkait erat dengan Hukum Musa. Setahun sekali, para imam melakukan upacara persembahan kurban darah binatang di mezbah Bait Allah untuk penghapusan dosa manusia. “ Dan hampir segala sesuatu disucikan menurut hukum Taurat dengan darah, dan tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan” (Ibrani 9:22). Penumpahan darah binatang ini terbatas keefektifannya, sehingga harus diulang berkali-kali. Upacara ini sebenarnya menjadi bayang-bayang dari persembahan “satu kali untuk selama-lamanya” yang dilakukan Yesus di atas kayu salib (Ibrani 7:27). Sekali korban ini sudah dipersembahkan, maka tidak lagi diperlukan darah lembu dan domba. Darah Kristus adalah dasar bagi Perjanjian Baru. Pada malam sebelum Yesus akan disalibkan, Dia mengedarkan cawan berisikan anggur kepada para rasul dan berkata, “Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu” (Luk 22:20). Penuangan anggur ke cawan menjadi simbol bagi darah Kristus yang akan ditumpahkan bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Ketika Dia menumpahkan darah-Nya di atas kayu salib, Yesus menggantikan tuntutan Perjanjian Lama yang menuntut pengorbanan binatang secara berkala. Darah binatang tidak memadai untuk menebus dosa manusia, hanya bersifat sementara. Dosa terhadap Allah yang suci dan kekal menuntut korban yang suci dan kekal juga. “Tetapi justru oleh korban-korban itu setiap tahun orang diperingatkan akan adanya dosa. Sebab tidak mungkin darah lembu jantan atau darah domba jantan menghapuskan dosa”(Ibr 10:3-4). Sementara darah lembu jantan dan domba jantan ini lebih dimaksudkan sebagai pengingat akan dosa, “darah Kristus yang mahal, yaitu darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat” (1 Pet 1:19), dibayarkan sebagai penebusan dosa manusia, sehingga kita tidak lagi membutuhkan korban penebusan dosa. Menjelang kematian-Nya, Yesus berkata, “Sudah selesai.” Dia benar-benar bermaksud menyatakan itu bbahwa semua karya penebusan telah selesai dikerjakan, “telah mendapat kelepasan yang kekal” (Ibrani 9:12). Darah Kristus tidak hanya menebus orang pilihan dari belenggu dosa dan penghukuman kekal, tetapi juga untuk “menyucikan hati nuraninya dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, supaya dia dapat beribadah kepada Allah yang hidup” (Ibrani 9:14). Ini berarti kita tidak hanya dibebaskan dari upacara korban persembahan yang sia-sia dan tidak bisa menyelamatkan, tetapi kita juga dibebaskan dari ketergantungan atas upaya dan usaha kita yang tidak bernilai dan berarti untuk menyenangkan hati Allah. Karena darah Kristus telah menebus kita, maka kita sekarang menjadi ciptaan baru di dalam Kristus (2 Kor 5:17). Karena darah-Nya, kita dibebaskan dari belenggu dosa sehingga kita bisa melayani Allah yang hidup; untuk memuliakan-Nya dan hidup dalam anugerah-Nya untuk selama-lamanya.
Item Type: | Thesis (Undergraduate) |
---|---|
Uncontrolled Keywords: | Keselamatan |
Subjects: | 200 – Agama > 260 Teologi sosial dan gerejawi > 265 Sakramen dan ritual lain dalam Kristen 300 – Ilmu Sosial > 390 Adat istiadat, etiket, dan cerita rakyat > 392 Adat istiadat setempat |
Divisions: | 75201 Ilmu Filsafat |
Depositing User: | Mr Fransiskus Xaverius Sabu |
Date Deposited: | 14 Oct 2021 01:15 |
Last Modified: | 26 Nov 2022 03:37 |
URI: | http://repository.iftkledalero.ac.id/id/eprint/1019 |
Actions (login required)
View Item |