Breaking News:

Tidak Semua Orang NTT Kasar, Doyan Pesta, dan Suka Mabuk

Catatan Sunyi" adalah aktualisasi diri seorang NTT dalam rangka melawan label kasar, suka ribut, doyan pesta, dan suka mabuk.

Editor: Benny Dasman
Tidak Semua Orang NTT Kasar, Doyan Pesta, dan Suka Mabuk
istimewa
ilustrasi mahasiswa mabuk

Oleh Juan Orong
Dosen STFK Ledalero, Maumere, Flores

MONIKA N Arundhati pada akhir tahun 2014 menerbitkan antologi puisi berjudul "Catatan Sunyi". Monika terlahir di Lewoleba, Lembata, NTT. Setahun setelah menyelesaikan studi Sastra Indonesia pada Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yakni pada akhir 2014 Monika diundang mengikuti Makassar International Writers Festival di Makassar. Pada momen festival itu dia diumumkan sebagai salah seorang penyair perempuan muda Indonesia Timur.

Beberapa puisinya dibukukan dalam "Antologi Puisi 17 Penyair Perempuan Indonesia Timur" (2014). Antologi puisi "Catatan Sunyi" diterbitkan oleh almamaternya sebagai semacam trofi atas prestasi langkah tersebut.

Menjalankan kuliah di Yogyakarta sebagai orang NTT bagi Monika bukanlah perkara gampang. Di sana, seperti juga di banyak kota lain di Jawa, orang NTT dinilai kasar, doyan pesta, mabuk, suka buat keributan dan ulah. Lantaran kental dengan atribut-atribut negatif seperti itu, tidak mudah bagi mahasiswa-mahasiswi asal NTT di sana mendapatkan tempat tinggal, sebab tidak sedikit kos dan kontrakan dilabeli tulisan "Menerima Anak Kos, Kecuali Orang NTT" atau "Tidak Menerima Anak NTT". 

Catatan streotif seperti di atas memang tidak secara eksplisit tertuang dalam "Catatan Sunyi". Namun, agaknya tatkala menjalankan studi di Yogyakarta dan setiap saat bergaul dengan orang Jawa, Monika intensif bergulat dengan identitas ke-NTT-annya. Tesis utama antologi puisi Monika adalah pentingnya menegaskan kesunyian sebagai modus eksistensi manusia. Reafirmasi atas kesunyian adalah sebentuk manifesto dari seseorang yang mencintai kesunyian dan menjadikannya karib. Hanya apabila orang bergaul dan mengakrabi kesunyian, karya-karya berbobot seperti puisi terlahir. Puisi itu oleh Monika dirangkul sebagai "Sungai makna yang mengalir dari mata air jiwa." (Hal. 32) Dengan sangat filosofis Paul Budi Kleden dalam prolog terhadap antologi puisi itu mendefinisikan sunyi sebagai asal dan tujuan keberadaan. Di dalam sunyi puisi terlahir, dan pada gilirannya, puisi yang terlahir dalam sunyi itu mengirim orang kembali kepada sunyi. (Hal. 17).

"Kembali kepada sunyi" adalah sebuah maklumat sekaligus sebuah proposisi. Ia dapat dipercaya, disangsikan, disangkal, dan dibuktikan kebenarannya. Dan betapapun sebagai proposisi, ia diperdebatkan, sunyi adalah alfa dan omega; awal dan akhir. Monika meyakini keniscayaan hubungan dan kaitan antara dua dimensi waktu itu. Dalam puisi berjudul "Tahmid" (hal.108) keyakinan itu terungkap. "Dari sepi kembali ke sepi". 

Kesepian tentu tidak serta-merta identik dengan kesunyian. Sebab dalam pengertian sebagian orang, kesepian itu selain konotatif juga oposisi dari kesunyian. Namun, tidak demikian bagi mereka yang mendaulat kesepian itu sebagai jenggala, hutan rimba, tempat Allah berdiam. Pada larik ketiga judul yang sama, Monika mencatat "Tafakurku tersesat di jenggala kekudusan-Mu yang tak berbatas; sujud bertahmid dalam renjana yang kian memerah".

Monika menulis sebagian besar puisi yang terdapat dalam "Catatan Sunyi" sewaktu dia berada di Yogyakarta. Di sanalah sang penyair berjumpa dengan "Hidup" yang diejanya sebagai mimpi. "Kususun mimpi demi mimpi. Kaulah dasar sekaligus puncaknya. Segala yang lain adalah tiada." (Hal. 80). "Hidup" seperti itu ditemukannya dalam ruang hening. Dan ruang hening itu adalah antitesis terhadap ruang hingar-bingar dan keadaan hiruk-pikuk yang tercipta sebagian besar "Rakat" (sebutan terhadap orang NTT di Yogyakarta).

Setelah lama bergaul dan menyimak sapaan streotif seperti itu, Monika kembali ke sumber dari mana setiap manusia berasal, yakni sunyi. Boleh jadi untuk maksud itu dia harus mengambil jarak dan membatasi pergaulan. Kendatipun tentu para penyair, termasuk Monika tetap dapat memaknai situasi apa pun sebagai kesempatan bagi mereka menikmati kesunyian. Karena sesungguhnya seperti dikatakan Budi Kleden "Sunyi bukan hanya soal tidak menangkap suara atau kesuksesan memasang kedap suara. Sunyi adalah juga kondisi batin seseorang yang mengambil jarak dari dunia luar." (Hal. 10).

Namun, barangkali berbeda dengan "Rakat" lain yang memandang dan menjadikan kos, kontrakan, kampus, pertokoan, mall, pasar, warung, tempat-tempat untuk mereka beradu identitas, yang tak jarang juga dipakai sebagai "bale-bale" tempat pesta dirayakan; Monika menjadikan tempat-tempat itu "ruang hening", tempat proses individuasi digelar. Di dalam proses individuasi itu penyair bercengkrama dengan keheningan. Dan pada gilirannya keheningan itu membawanya kembali kepada yang Ilahi. Monika, seorang NTT, satu dari antara sebagian besar orang Jawa rekan kuliahnya berhasil menegaskan dalil afirmasi diri yang positif; bukan tentang "aku yang halus, berkulit putih mulus, dan berambut lurus", melainkan "aku yang mencintai kesunyian dan yang di tengah malam masih sanggup melihat `angin dan sehelai daun jatuh' (hal.55)." Teman kuliah Monika, Christopher A. Woodrich, asal Canada yang didaulat Monika untuk menulis epilog atas antologinya mengakui bahwa Monika adalah "Seorang penyair muda yang menggunakan tangan dan lidah yang anggun untuk mengemukakan makna baru." (Hal.111).

Melampaui hasrat untuk menegaskan identitas diri seperti di atas, Monika insaf bahwa di mana-mana, - di NTT dan di Jawa - ruang-ruang umum kita memang memendam dan mengalirkan beragam bentuk kegaduhan. Seseorang yang telah rentah dan pikun, barangkali setua nenek yang dilukiskan Monika dalam puisi "Ladang Musim Hujan" (hal.37) harus mengakhiri kehidupannya hanya karena tidak tahan terhadap bunyi petasan. Banyak bayi, orang-orang sakit, bahkan yang masih sehat juga mengalami nasib buruk yang sama. Jika tidak mati, paling kurang mereka frustrasi terhadap keributan-keributan yang tidak diinginkan. Sering kali orang hanya bisa mengeluh, menggerutu, berteriak, dan marah, sebab tak kuasa pergi ke jalan-jalan untuk melabrak setiap pengemudi kendaraan bermotor yang knalpotnya berbunyi keras hingga memekakkan telinga.

"Catatan Sunyi" adalah manifesto terhadap pentingnya merawat kehidupan dengan jalan sunyi. Catatan itu terlahir dari panggilan untuk kembali kepada kehidupan yang wajar. Penegasan identitas tidak harus dibuat dengan berpura-pura. Juga, terhadapnya orang tidak harus dituntut untuk secara kolektif beramai-ramai mempertontonkan kekuatan destruktif, beradu otot dan mulut besar hanya sekadar menegaskan keberadaan. "Catatan Sunyi" adalah aktualisasi diri seorang NTT dalam rangka melawan label kasar, suka ribut, doyan pesta, dan suka mabuk. *

Ikuti kami di
KOMENTAR

BERITA TERKINI

© 2021 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved