Breaking News:

Catatan untuk Pius Lustrilanang

Dulu Diculik, Sekarang Bela Penculik

Pius Lustrilanang yang berasal dari Palembang itu terhitung satu dari segelintir anggota dewan yang didukung konstituen bukan dari daerah asalnya.

Editor: Benny Dasman
Dulu Diculik, Sekarang Bela Penculik
POS KUPANG/SIPRI SEKO
Dari kiri, Pius Lustrilanang, Paul Liyanto, Ernos Neparasi, Prabowo Subianto, Ben Mboi, Mario Viera, Esthon Foenay dan Farry Francis, pose bersama di kediaman Ben Mboi di Kupang, Minggu (14/4/2013).

Oleh Juan Orong

UNTUK kedua kalinya politikus partai Gerindra, Pius Lustrilanang, terpilih sebagai DPR dari Dapil satu NTT (Flores, Lembata, dan Alor). Selain dia, anggota DPR petahana dari Dapil yang sama, yang tetap bertahan di Senayan adalah Honing Sanny (PDI-P), Melkhias Mekeng (Golkar), Laurens Bahang Dama (PAN), Benny Kabur Harman (Demokrat).

Dari enam DPR dapil satu NTT yang berhasil ke Senayan hanya satu wajah baru, yakni Johny Plate dari Partai NasDem. Dari antara mereka, hanya Pius Lustrilanang yang bukan kelahiran NTT. Pius Lustrilanang yang berasal dari Palembang itu terhitung satu dari segelintir anggota dewan yang didukung konstituen bukan dari daerah asalnya.

Secara politis, terpilihnya Lustrilanang sebenarnya menggambarkan dua karakter positif dari demokrasi. Pertama, orang Flores, Lembata, dan Alor agaknya telah lebih demokratis dalam hal memilih. Apriori tentang tradisi primordialisme dalam Pemilu menjadi kurang terbukti di Dapil satu NTT.

Kedua, kualitas pengaruh figur seorang Pius Lustrilanang mengalahkan putra/putri kelahiran NTT, seperti Laurens Tato, Yofani Maria Renya Rosari, Josef A Naesoi, Emanuel Melkiades Laka Lena, Cipry Aur, Cyillus Iryanto Kerong, Andreas Hugo Parera, Petrus Salestinus, Sonny Keraf, dan beberapa yang lain.

Namun, ketika persepsi demokratis coba ditempatkan dalam koridor dua butir penilaian positif seperti itu, kita bertanya-tanya; prestasi apakah yang telah ditampilkan Pius Lustrilanang di NTT? Betulkah orang Flores, Lembata, dan Alor telah sedemikian demokratis dalam memilih wakil mereka di lembaga legislasi?

Apakah untuk urusan yang satu ini, memilih calon dari suku dan daerah yang sama tidak lagi masuk pertimbangan? Apakah memang benar kualitas pribadi Pius
Lustrilanang lebih unggul dibandingkan dengan calon legislator asal NTT?
Sejauh ini jawaban memadai terhadap persoalan-persoalan tersebut selain sulit ditemukan, juga mustahil. Jika memang demikian, hal apakah yang menyebabkan Pius Lustrilanang laku di NTT? 

Terus terang, ketika mengajukan pertanyaan terakhir ini, sebagai orang NTT saya dirasuki rasa jengkel dan malu. Betapa tidak? Jika kita mencari tahu latar belakang dan perjalanan karir politik dari Pius Lustrilanang, kita hanya akan merasa telah bersalah dan ceroboh menentukan pilihan. Selain dia adalah kader dari sebuah partai yang pendirinya adalah tokoh yang pada tahun 1998 menculiknya, Pius Lustrilanang selama masa kampanye di beberapa tempat di Flores dan Lembata melakukan penipuan identitas.

Sebenarnya koran "NTT EXPO online, edisi Minggu IV Maret 2014" membongkar kedok Pius Lustrilanang. Expo edisi itu mencatat "Sikap politik Pius Luistrilanang sangat buruk. Demi memenangkan suara dan meraih simpati orang Flores, pada setiap pertemuan selalu mengaku orang Flores. Di Lembata, Pius mengaku orang Lomblen-Lembata karena di belakang namanya ada Luistrilanang. Padahal di Lomblen hanya ada fam Lanang. Bukan Luistrilanang."

Sumber yang sama mencatat, "lima tahun lalu, saat Pius Luistrilanang kampanye, di mana-mana mengaku bilang keturunan Manggarai. Akhir Januari 2014 lalu ketika di Flores Timur Pius Luistrilanang bilang asal dari Flores Timur."

Jika kita mencari tahu lebih lanjut, kita akan mendapatkan informasi lengkap dan objektif tentang identitas orang ini. Situs id.wikipedia.org/wiki/ mencatat Pius Lustrilanang lahir di Palembang, Sumatera Selatan, pada 10 Oktober 1968. Dia adalah aktivis dan politisi. Pada tahun 1998, namanya mencuat setelah dia melaporkan kepada komnas HAM tentang penculikannya oleh sekelompok orang tak dikenal selama dua bulan. Saat itu Pius adalah sekretaris jenderal Solidaritas Indonesia untuk Amien dan Mega (SIAGA). Selama penculikan itu Pius Lustrilanang disiksa, dipukuli, disetrum, dan ditelanjangi. 

Tentang peristiwa penculikan itu, Arif Kurniawan dalam blog pribadinya, sebagaimana ditemukan dalam arifkurniawan.wordpress.com/2007/01/09/sindrom-stockholm-oh-pius  memuatnya secara detail. Pada tanggal 14 Pebruari 1998, Pius Lustrilanang diculik oleh Tim Mawar, satuan tentara elite KOPASSUS di bawah kendali KODAM. Penculikan berlangsung kira-kira pukul 15.30 WIB di depan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSCM).

Penculikan ini diakui resmi oleh Departemen Pertahanan. Pada pagi tanggal 29 April 1998, Pius memberikan kesaksian di depan KOMNAS HAM, Mayjen (Purn) Samsudin, Albert Hasibuan dan puluhan wartawan. Pada petang harinya, ia tiba-tiba langsung terbang ke Belanda. `Pelarian' ini didukung oleh (alm) AA Baramuli, mantan ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan para aktivis HAM untuk Indonesia di Belanda, yaitu Indonesia-House.

Di Belanda Pius ditampung di rumah saudara Reza, di Lizzy Annsinghstraat, Amsterdam. Bulan Juli 1998 Pius pulang ke Indonesia setelah dua bulan melakukan gerakan kampanye anti kekerasan dan militerisme di Eropa. Pius pindah haluan, mendaftarkan diri menjadi caleg PDIP di Bogor. Namun posisi ini tidak didapatkannya.

Pada Akhir 1999 Pius bertemu Prabowo di Kuala Lumpur. Pius mengatakan bahwa pada saat itu Prabowo berkata kepadanya "Saya hanya prajurit. Tugas saya memenuhi perintah. Di antaranya adalah menculik kamu". Pada saat ini, Prabowo sudah dipecat dari TNI. Dalam pertemuan itu Pius dijanjikan untuk diberikan posisi strategis di partai Gerindra yang didirikan Prabowo. Sekarang ini Pius Lustrilanang adalah kader dan anggota DPR dari partai Gerindra yang didirikan Prabowo.

Pertanyaan yang barangkali sukar dijawab dan bahkan akan tetap menjadi misteri adalah "Bagaimana mungkin seorang yang dahulu diculik, disiksa, dipukuli, disetrum, ditelanjangi dan hampir mati kemudian banting stir menjadi pembela sang penculik?" Perubahan sikap seperti ini sudah tentu hanya mungkin terjadi melalui proses pencucian otak. Namun, sulit dilacak dan diketahui proses ini tanpa pengakuan yang jujur dari korban.  

Dalam dunia psikologi perubahan sikap seperti ini disebut dengan istilah Stockholm Syndrome (Sindrom Stockholm). Sindrom Stockholm berasal dari sebuah kisah perampokan bank di Norrmalmstorg, Stockholm, Swedia pada tanggal 23 hingga 28 Agustus 1973.

Korban penculikan merasa bersimpati dengan penculiknya, sehingga setelah bebas dari penculikan, mereka mencoba membela atau bersimpati kepada para penculiknya. Contoh Stockholm Syndrome yang paling terkenal adalah Patty Hearst. Ketika diculik oleh Symbionese Liberation Army (SLA), organisasi radikal kiri USA, Patty adalah seorang wanita muda, cerdas, cantik, bintang film serta cucu multijutawan William Randolph Hearst. Dua bulan setelah polisi membebaskannya dari penculikan, Patty membantu SLA untuk merampok sebuah bank di San Fransisco, USA.

Para psikolog mendefinisikan Sindrom Stockholm sebagai peristiwa di mana korban penculikan atau penindasan atau penganiayaan jatuh cinta kepada orang yang melakukan kekerasan terhadapnya. (Bdk. kamuskesehatan.com/arti/sindrom-stockholm).

Menurut teori psikoanalisis, ini  adalah salah satu bentuk upaya pembelaan diri sang korban. Dalam film The World is Not Enough, James Bond menganalisis Elektra King sebagai korban Sindrom Stockholm. Elektra mengaku diculik dan diperkosa oleh Renard (banditnya). Ternyata Renard malah mengaku bahwa ia jatuh cinta kepada Elektra. Renard, pada kondisi ini, mengalami gejala psikologi Lima Syndrome; di mana penculik jatuh cinta kepada korbannya.

Di Indonesia, gejala ini secara telak diperankan oleh Prabowo Subianto, capres dari Partai Gerindra. Prabowo diketahui banyak merangkul aktivis korban penculikan untuk bergabung ke partainya. Jika Prabowo adalah contoh gejala psikologi Lima Syndrome, Pius Lustrilanang adalah contoh Sindrom Stockholm. Selain dia, mereka yang dahulu diculik atas perintah Prabowo dalam peristiwa 1998 dan kemudian (pernah) bergabung ke Gerindra adalah Haryanto Taslam, Desmond J Mahesa dan Aan Rusdianto. (Bdk. Merdeka.com, 5 Juni 2014)

Layaknya menonton sebuah film, pada akhir catatan ini kita barangkali merasa dikejutkan. Namun ini bukanlah ending dari sebuah sinteron. Sindrom Stockholm yang diperankan Pius Lustrilanang saat ini bukanlah realitas rekaan. Ia adalah afirmasi atas minusnya pengetahuan dan rendahnya kemampuan kritis masyarakat NTT untuk melacak perjalanan karir politik calon wakil rakyat. Belajar dari pengalaman ini, semoga kita menjadi semakin cerdas dalam menjatuhkan pilihan.

Semoga kita, katakanlah kelak setelah menjadi korban penculikan, penyanderaan politis, pencurian uang rakyat, kita tidak beralih mengidentifikasikan diri dengan dan memiliki simpati terhadap para penculik, penyandera, dan koruptor. Selamat menjadi pemilih yang cerdas. * (Dosen STFK Ledalero, Maumere)

Ikuti kami di
KOMENTAR

BERITA TERKINI

© 2021 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved