Keterangan Gambar : Sejumlah warga Kota Mbay, Nagekeo, Flores, bertamasya di Pantai Nangadhero.
Kisah Laka Roa adalah sebuah interpretasi terhadap “Teologi Rakyat” yang dihayati Paus Fransiskus, serentak metode enkulturasinya.
Metode enkulturasi Paus Fransiskus, menurut Misiolog STFK Ledalero, John Mansford Prior, berciri holistik dan integratif.
“Enkulturasi, selain tak dapat dipisahkan dari dialog dengan Islam dan pelbagai tradisi iman lainnya, juga tak terpisahkan dari dialog dengan alam lingkungan,” kata John M. Prior dalam simposium bertajuk, “Love the Light of Wisdom”, dalam rangka perayaan 50 tahun STFK Ledalero di Ledalero, Rabu (4/9/2019).
Manusia dan alam lingkungan, menurut metode enkulturasi Paus Fransiskus, menjadi lokus teologi, termasuk pengalaman Laka Roa, seorang nelayan Nagekeo, Flores, yang ditemukan tak berdaya di Pantai Nangadhero beberapa waktu lalu.
***
Suatu siang di awal Februari 2012, Laka Roa ditemukan terpekur dalam gelisah yang amat mendalam. Betapa tidak? Di hadapan tuntutan kebutuhan hidup yang terus bertambah dan mendesak, ia kehilangan pekerjaan. Ia hanya bisa menganggur dan tak dapat melaut karena ombak lautan terus mengamuk-garang.
Atau, kalaupun ombak dan angin sejenak reda dan ia bisa melaut, ia hanya bisa mendapat sangat sedikit tangkapan, bahkan terkadang ia pulang kosong, karena ikan-ikan sangat jarang muncul, seakan telah punah.
“Saya hanya bisa mendapat sangat sedikit ikan saat melaut, bahkan kadang tidak mendapat sama sekali. Biasanya saya mendapat Rp500.000 sampai Rp700.000 dari hasil tangkapan saya sehari. Tetapi, sekarang, hanya sekitar Rp50.000 sampai Rp.100.000. Itupun kalau mujur, karena kadang pulang kosong,” keluh Laka Roa.
Kondisi seperti ini terkadang terjadi sampai 5 bulan. Dan, nahasnya, ketika kondisi alam tak bersahabat seperti ini, Laka Roa dan para nelayan Nagekeo lainnya mulai menafsir bebas isyarat alam, termasuk merujuk kekuatan-kekuatan adi-manusia sebagai penyebabnya.
“Di balik ombak dan angin, ada kemarahan roh nenek moyang yang menjaga dunia lautan,” demikian dugaan dan keyakinan mereka.
Alhasil, ritual adat pun diselenggarakan dengan maksud agar hasil tangkapan kembali berlimpah seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, diselenggarakan secara besar-besaran dengan menghadirkan pemerintah daerah.
Penyelenggaraan ritual adat seperti ini, dari perspektif tertentu, bisa dilihat sebagai solusi berbasis kearifan lokal. Hanya saja, dengan solusi ini, para nelayan tidak lagi menyadari kebiasaan negatif mereka dalam hal menangkap ikan, seperti mengebom, menebar racun potassium, dan lain sebagainya.
Dalam kondisi seperti ini, jelas dialog antara manusia dan alam tak berjalan baik, bahkan terputus total. Padahal, kegagalan berdialog dengan alam seperti ini bisa berdampak buruk pada iman. Mengapa?
Sepanjang aksi pengeboman dan penebaran racun potassium terus dilakukan oleh para nelayan, niscaya seribu kali penyelenggaraan ritual adat dan doa sujud di rumah-rumah ibadat tak akan pernah mengubah keadaan. Ketika hutan-hutan di tepi pantai terus dirusakkan, angin dan gelombang lautan pun akan terus mengganas, dan doa-doa manusia terkesan sia-sia. Pada saat itu, bisa saja Tuhan dituduh pelit dan tidak lagi bermurah hati. Tuhan dinilai tak menjamin kebutuhan manusia, dan karenanya perlahan diragukan dan ditinggalkan.
Sampai di sini, Laka Roa dan teman-temannya, dan tentu saja kita manusia pada umumnya, perlu berintrospeksi diri setiap kali mengalami musibah, supaya jangan sampai kita manusia yang salah, tetapi Tuhanlah yang dituduh. Laka Roa dan teman-temannya seharusnya tidak menggelisahkan angin dan ombak lautan, pun pula merasa dibuang oleh alam lautan yang telah bertahun-tahun menghidupkan diri dan keluarga mereka. Justru sebaliknya, mereka mesti lebih mencemaskan aksi egoistik dan tak berperi kehidupan yang dilakukan oleh para nelayan.
***
“…Angin dan ombak lautan, begitu katamu, tak lagi ramah-bersahabat seperti hari-hari kemarin, dan kau mengadu kepada leluhur dan penguasa semesta. Kau antarkan doa dan sajen, berharap ia mereda murka. Hanya saja, tidak coba kau tanya, entahkah alam pernah kau lukai…”.
Oleh Amandus Klau
LEAVE A REPLY