Hermeneutika Diri : Sebuah Jalan Yang Panjang
Penulis : Felix Baghi SVD Dosen Filsafat di STFK Ledalero
Sebelum kita masuk ke pokok persoalan tentang “Hermeneutika diri”, mungkin baik kita melihat garis besar sejarah tentang Hermeneutika.
Pada awalnya, Hermeneutika adalah bagian dari eksegese biblis yang dipakai untuk memahami rencana ilahi dalam Kitab Suci. Santo Agustinus adalah orang pertama yang menggunakan Hermeneutika untuk memahami “De Doctrina Christiana” dalam terang revelasi Ilahi. Cita cita awal Agustinus adalah mengatasi perbedaan reinterpretasi secara historis dan kultural demi mencapai makna asli sesuai dengan revelasi Ilahi.
Dalam perkembangannya, tokoh tokoh seperti Dilthey, Heidegger dan Gadamer memperluas pengertian Hermeneutika dalam terang “human sciences” dan eksistensi manusia. Namun, nama Paul Ricoeur harus ditempatkan sebagai “master Hermeneutika” karena dia adalah pemikir besar yang sanggup membuat sintese kreatif tentang semua warisan Hermeneutika Modern itu dalam fenomenologi tentang “kesanggupan manusia” (phenomenology of capability human being).
Baca Juga : Eksistensi Generasi Milenial
Baca Juga : Beberapa Hari Menjelang Akhir Antologi Puisi Yanri Ona
Berawal dari apa yang Ricoeur maksudkan dengan “semantic innovation” sebagai motivasi dasarnya, Ricoeur bercita cita mencari sebuah “makna baru” tentang eksistensi manusia dalam konfigurasinya dengan “makna lama” yang diwariskan dari masa lampau. Untuk cita-cita ini, Ricoeur mulai dengan afirmasi tentang “eksistensi manusia” sebagai basis Hermeneutika yang didasarkan pada keyakinan bahwa “human being is always a being-interpreted”.
Tentu, pembuktian atas keyakinan ini tidak ditempuh melalui “jalan singkat” (Short route), tetapi lewat “proses panjang” (long route), dalam dialog dengan pelbagai dimensi kehidupan manusia. Manusia mengerti dirinya dalam terang proses “penafsiran diri tanpa akhir” lewat kebudayaan, agama, sosial-politik, ilmu pengetahuan dan psikologi. Atas dasar ini, Hermeneutika bagi Ricoeur adalah “Art of deciphering indirect meaning”. Hermeneutika dikembangkan melalui pencarian makna ganda tentang “fenomen polisemi”, dan hal ini hanya mungkin melalui analisa bahasa, simbol, alegori, metafora, mitos dan analogi.
Karena itu, secara filosofis, Hermeneutika ada hubungan dengan seni membaca makna yang tersembunyi dibalik sebuah teks yang tampak. Tujuannya adalah untuk menemukan arti tentang eksistensi manusia lewat refleksi sebagai hasil dari eksplorasi terhadap segala pemgertian yang berasal dari simbol-simbol kebudayaan.
Baca Juga : Lika-Liku Kentut
Baca Juga : Cantik Itu Luka Antologi Puisi Kanis Rade
Lebih jauh, eksistensi manusia hanya dapat dipahami secara khusus apabila pemahaman tentang dirinya terbuka dengan pemahaman tentang hal-hal di luar dari dirinya, seperti simbol, institusi sosial dan monumen kebudayaan, yang semuanya merupakan perwujudan dari sebuah “Geist”. Ini yang menjadi alasan bagi Ricoeur bahwa kita tidak bisa mengerti diri kita hanya dalam dan melalui dunia kita yg terbatas.
Tesis dasar Ricoeur adalah “soi-même comme un autre” atau “diri dalam terang relasinya dengan yang lain. Kita memahami diri kita secara tidak langsung lewat proses Dialektika yang panjang dengan mediasi linguistik, tanda-tanda dan simbol-simbol, lewat kisah dan ideologi, melalui metafora dan mitos-mitos. Kita hanya dapat mengerti diri kita setelah kita terbuka dan keluar untuk membaur dengan kompleksitas makna dan realitas di luar dari diri kita. Setelah kita diperluas dan diperkaya oleh yang lain, kita kembali lagi menemukan diri kita secara baru (new birth).
Di sini, kita tidak lagi mengagung-agungkan prinsip “cogito” Descartes atau dasar arkeologi subyek dari Freud. Juga kita tidak bermegah dengan semangat teleologis tentang “self consciousness” dari Hegel, atau membanggakan diri kita dalam dimensi eskatologis dari Eliade. Kita mengerti diri kita dalam sintese semuanya, dalam terang masa lampau (warisan tradisi), masa sekarang (tugas) dan masa yang akan datang (harapan dan proyek).
Baca Juga : Bukan Asu Antologi Puisi Maxi L Sawung
Baca Juga : Daun Di Pagar Rumahmu Antologi Puisi Fr. Blasis Prang
Untuk “mengerti diri”kita secara lebih baik, kita membutuhkan “penjelasan” yang lebih jauh tentang siapakah kita. Di sini, “mengerti” dan “menjelaskan” adalah dua hal yang amat penting. Ricoeur berkata “expliquer plus c’est comprendre mieux”, “menjelaskan lebih jauh berarti mengerti lebih baik”. Ini menjadi alasan mengapa dalam tradisi Hermeneutika sejak Schleiermacher, Dilthey, Heidegger dan Gadamer, apa yang disebut metode “Erklaren” (penjelasan) dan “Verstehen” (understanding) dijadikan sebagai basis dalam Hermeneutika diri, khususnya dalam terang kesanggupan kita untuk berbicara, bertindak dan berdialog secara kreatif dengan “yang lain”.
Makna tentang diri tidak dikonstruksi hanya melalui esensi “intuisi kesadaran” seperti yg dijelaskan Husserl, tidak juga didasarkan pada prinsip “cogito” Descartes dan “apriori transendental” dari Kant. Makna itu bergantung pada jalan panjang interpretasi yang melewati lika-liku pengertian diri dan realitas lain yang kompleks, dan dalam Dialektika antara diri dengan tradisi dan inovasi.
Kita memiliki respek terhadap tradisi dan kita butuh inovasi. Dari satu sisi, semua tradisi membutuhkan inovasi agar lebih adaptable. Di sisi yang lain, setiap inovasi harus berangkat dari tradisi agar inovasi mempunyai dasar dan warisan yang bisa dirunut kembali.
Baca Juga : Membangun Pemahaman Komprehensif Tentang Perbedaan Status Kewarganegaraan Dan Status Kependudukan
Baca Juga : Peran Media dalam Menjaga Persatuan
Pengertian tentang Diri kita adalah bagian dari lingkaran Hermeneutika dalam Dialektika antara masa lampau dan masa sekarang, dan antara masa sekarang dan masa depan. Semua Dialektika ini dapat kita satukan dalam apa yang Ricoeur maksudkan dengan “social imaginary”- yaitu imajinasi sosial tentang diri kita dalam terang struktur kolektif, sejarah dan ideologi yang membentuk kesadaran diri kita secara sosial dan politis
Selain itu, penafsiran diri kita tidak pernah bebas dari Dialektika antara ideologi dan utopia. Ideologi sering dipromosikan lewat imajinasi kolektif yang diintegrasikan dalam komunitas sebagai tempat “Sharing identitas” bersama. Imajinasi kolektif kita adalah juga “Locus” di mana segala bentuk gamabaran utopis kita dapat hidup dan berkembang. Tentu, “social imaginary” menunjang baik peranan identifikasi dari ideologi maupun fungsi “pemutusan” dari utopia. Yang pertama bertujuan untuk menjaga, melindungi, sedangkan yang kedua bertugas untuk menawarkan alternatif. Keberadaan kita secara eksistensial tidak pernah terlepas dari konteks historis dari dialog intersubyetivitas dengan yang lain.
Nah, di sini tugas Hermeneutika adalah memberikan interogasi kritis terhadap imajinasi sosial dan politik yang menuntun masyarakat dan memotivasi warga negara. Masyarakat adalah sebuah Medan “teks” yang perlu ditafsir agar identitas diri kita menjadi lebih luas dipahami. Karena masyarakat adalah kumpulan individu-Individu yang satukan oleh ideologi yang sama.
Baca Juga : Mengembalikan Semangat Kesetaraan Gender
Baca Juga : Pandemi, Larangan Konspirasi dan Beragama
Singkatnya, kita mengerti dan menafsir diri kita melalui “long route”. Jalan panjang itu termasuk dalam jalan “kritik dan kreativitas”. Kritik dipandang perlu untuk membuktikan sesuatu sebagai salah karena sesuatu tidak punya dasar. Dalam sejarah filsafat kita kenal dengan kritik Freud tentang “unconsciousness desire”, kritik Marx tentang “false consciousness” dan kritik Nietzsche tentang “the genealogy of Will-to-Power”. Semua kritik mereka ini dianggap sebagai proses enigmatis dalam penemuan “makna diri” yang baru. Sedangkan kreativitas adalah momen afirmasi tentang sebuah “gairah”, “kerinduan” atau “Passion” yang selalu menggerakkan kita untuk mencari apa yang Ricoeur maksudkan dengan “surcroît de sens” atau “the surplus of meaning”. Secara ontologis, momen ini menjadi acuan bagi kita untuk selalu mempersoalkan diri kita selama kita berada dalam jaringan atau rangkaian yang tanpa batas dengan realitas di luar diri kita. Makna diri kita yang otentik harus melampaui “purgatory” yang senantiasa menempatkan kita dalam “api penyucian” alienasi.
Namun, kita juga perlu tahu diri dan menyadari segala keterbatasan kritik dan kreativitas kita. Kerinduan kita akan “makna baru dan dunia baru” boleh jadi akan tetap sebagai kerinduan seperti kerinduan Nabi Musa yang tidak pernah tiba pada “tanah terjanji” sampai ia meninggal.
Baca Juga : CINTA VIRGINIA
Baca Juga : Bunga di Tepi Jalan
“Menafsir” dan “mengerti diri” adalah sebuah jalan yang panjang. Ini mungkin disebabkan karena secara ontologis, kita hanyalah “manusia yang terbatas” (a finit beings) dan seringkali pemahaman kita tentang diri kita terperangkap dalam batas-batas historisitas kita. Selain itu, mitos tentang absolutisme akal budi harus selalu direvisi karena akal budi kita juga sering terpojok di dalam kelemahannya sendiri. Gianni Vattimo menyebutnya “il pensiero debole” atau pikiran lemah yang tidak bisa menjelaskan batas batas kesanggupannya. Akal budi kita telah menjerumuskan dirinya ke dalam pluritas perdebatan yang panjang.
Dengan demikian, konflik interpretasi yang kreatif tentang siapakah kita dan siapakah yang lain, tidak bisa dihindari. Konflik ini bersifat terbuka dan selalu hangat sepanjang masa. Kita tidak dapat lagi menutup diri atau menghindari bahwa pemahaman kita tentang diri kita, seluruh narasi dan kisah tentang identitas diri kita selalu dan senantiasa dikaitkan dengan “yang lain”. “Oneself as another”.
Oleh karena itu, kita hanya bisa menemukan diri kita kembali ketika kita terbuka dalam pluralitas interpretasi diri yang tiada batas. Ini adalah bagian dari kodrat kita sebagai manusia, yang selalu menempatkan diri kita dalam arus besar dan gelombang kerinduan eksistensial untuk selalu menjadi baru. “Desire to be”.
Kerinduan ini menempatkan kita pada suatu jalan yang panjang. Di tengah jalan itu, kita hanya bisa “mengerti kondisi ontologis” kita “dalam” dan “melalui” bahasa. Heidegger amat tepat ketika menggambarkan kondisi ontologis manusia di tengah dunia sebagai “Dasein” yang berkodratkan bahasa. Mengutip Richard Kearney, “human existence (Dasein) is and of itself language (Sprachlichkeit)”.