Home Opini Mengendus Bau Korupsi (1)

Mengendus Bau Korupsi (1)

Pembangunan Pelabuhan Niaga di Manggarai Barat

1,312
0
SHARE
Mengendus Bau Korupsi (1)

Keterangan Gambar : Pater Alexander Jebadu SVD, Dosen Ekonomi Neoliberal pada STFK Ledalero, Maumere.

"....dalam dunia yang sangat korup, hampir segala sesuatu abu-abu alias tidak jelas. Karena itu, ibarat menembak musuh di semak yang tidak jelas, orang menembak sebanyak mungkin peluru ke banyak sasaran. Sekiranya ada yang kena sasaran, ya syukur. Kalau tembakan alias analisis atau dugaannya tidak tepat sasar, ya tinggal dibuka: persoalan yang sebenarnya seperti apa."

Sejak tahun 2011, ada wacana pemindahan pelabuhan niaga di Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores. Pelabuhan niaga yang selama ini berlokasi di Labuan Bajo, Ibukota Kabupaten Manggarai Barat, akan dipindahkan ke Desa Bari, Kecamatan Macang Pacar. Tujuannya, supaya Labuan Bajo akan khusus menjadi pelabuhan penumpang dan kota wisata premium berkelas dunia.

Tujuan lain adalah untuk mewujudkan Nawacita Nomor 3 Soekarno. Yang dimaksud adalah keadilan sosial ekonomi mesti dipercepat dengan pembangunan yang dimulai dengan mengembangkan daerah pedesaan. Lalu hal terakhir yang tidak kalah penting adalah bahwa pembangunan daerah pedesaan akan menekan laju urbanisasi.

Baca juga: Bari Good & Rangko Bad

Pemindahan pelabuhan niaga ini merupakan proyek nasional. Atas dasar itu, Pemerintah Pusat melalui Menteri Perhubungan telah melakukan kajian teknis tahun 2012. Pengerjaannya dilakukan oleh PT Adhy Karya (Persero) Tbk Jakarta. Hasilnya, teluk Liwuliang di Desa Bari aman dan memenuhi semua syarat teknis. Lautnya dalam. Ia aman dari hempasan gelombang karena dibentengi Pulau Longos yang ada di depannya.

Jarak Labuan Bajo ke Bari juga masuk dalam kajian. Jaraknya tak seberapa jauh. Hanya 40 hingga 50-an kilometer. Melalui jalan negara pantura Flores yang sedang dibangun, itu akan ditempuh tidak lebih dari satu jam.

Kelayakan teluk Liwuliang di Desa Bari untuk menjadi pelabuhan niaga kemudian diamankan dengan Perda Nomor 9 Tahun 2012 tentang Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manggarai Barat Tahun 2012-2032. Pasal 10 ayat 3 huruf a) berbunyi, “Pelabuhan pengumpul yaitu pelabuhan niaga/peti kemas adalah di Desa Bari, Kecamatan Macang Pacar.” Lalu Pasal 10 ayat 3 huruf b) berbunyi, “Pelabuhan penumpang dan pelabuhan wisata internasional adalah di Labuan Bajo.” Perda ini berlaku sampai hari ini dan belum direvisi.

Akan tetapi pembangunan pelabuhan niaga yang diwanti-wanti akan membawa imbas ekonomi untuk masyarakat desa di Dapil II Mabar (Kecamatan Macang Pacar, Pacar, Ndoso, Kuwus, dan Kuwus Barat), menurut berita yang beredar, justru dipindahkan lagi ke tempat lain. Tempat baru yang disebut adalah Rangko. Rangko masih merupakan bagian dari Labuan Bajo dan menurut kajian teknis Menteri Perhubungan yang dikerjakan PT Adhy Karya tahun 2012, Rangko tidak memenuhi persayaratan teknis. Lautnya dangkal dan berbatu karang. Gelombang besar sepanjang waktu karena sangat terbuka dengan laut lepas. Akibat lebih lanjut, Rangko tidak pernah dijadikan sebagai lokasi alternatif.

Apa yang membuat Pemda Mabar memindahkan pembangunan lokasi pelabuhan niaga ini ke tempat baru? Mengapa Pemda Mabar pindahkan proyek ini ke Rangko sebagai sebuah lokasi yang sudah dinyatakan tidak memenuhi syarat menurut kajian teknis Menteri Perhubungan yang dikerjakan oleh PT Adhy Karya? Selain itu, ia dipindahkan dengan mengabaikan Perda Nomor 9 Tahun 2012 Pasal 10 ayat 3 huruf a) yang berbunyi, “Pelabuhan pengumpul yaitu pelabuhan niaga/peti kemas adalah di Desa Bari, Kecamatan Macang Pacar”, apa sebenarnya yang sedang terjadi?

Sewaktu saya menulis pertama kali tentang masalah ini di Flores Pos, 16 Desember 2019, ada orang yang menilai bahwa analisis saya terlalu jauh dan tidak didasarkan fakta. Apa yang mereka katakan ini bisa jadi ada benarnya. Tetapi persoalannya adalah bahwa dalam dunia yang sangat korup, hampir segala sesuatu abu-abu alias tidak jelas. Karena itu, ibarat menembak musuh di semak yang tidak jelas, orang menembak sebanyak mungkin peluru ke banyak sasaran. Sekiranya ada yang kena sasaran, ya syukur. Kalau tembakan alias analisis atau dugaannya tidak tepat sasar, ya tinggal dibuka: persoalan yang sebenarnya seperti apa.

Ditemukan Pater Ernest Wasser SVD

Laut di Teluk Liwuliang di Desa Bari itu dalam. Ia aman dari amukan gelombang. Hal ini sudah diketahui sejak dulu kala oleh para nelayan di wilayah ini. Tetapi Teluk Liwuliang ini kemudian menjadi terbuka kepada publik karena Pater Ernest Wasser SVD. Pada tahun 1992, Pater Wasser membuka isolasi Bari dengan membuka jalan raya masuk dari Pacar ke Bari dan bantu membangun kantor-kantor camat Kecamatan Macang Pacar di Loger-Bari yang berjarak hanya ratusan meter dari Teluk Liwuliang.

Pater Wasser kemudian sejak tahun 1994 mulai membuat rumah istirahat di Loger. Untuk transportasi dari Loger-Bari ke Labuan Bajo, Pater Wasser membeli sebuah motor laut dan kerap berlabuh di Teluk Liwuliang. Pater Wasser dan Bapak Camat Leo Ngambul pada waktu itu sangat terkejut ketika menemukan bahwa selain sangat tenang, laut Teluk Liwuliang juga ternyata sudah dalam hingga 10 meter hanya dari jarak sekitar 5 sampai 7 meter dari bibir pantai.

Selain itu, Teluk Liwuliang juga tidak pernah surut dan merupakan pelabuhan alam yang luar biasa. Temuan ini kemudian perlahan-lahan diinformasikan ke Pemda Kabupaten Mabar.

Indikasi Kecurangan Pembebasan Lahan

Setelah Teluk Liwuliang di Desa Bari ditetapkan menjadi lokasi pembangunan pelabuhan niaga Kabupaten Mabar oleh Perda Nomor 9 Tahun 2012 Pasal 10 ayat 3 huruf a), maka pada akhir tahun 2012 hingga tahun 2013, Pemerintah Kabupaten Mabar melakukan usaha pembebasan lahan di Liwuliang, Desa Bari. Menurut seorang mantan camat Macang Pacar, pembebasan lahan tahun 2012-2013 ini bisa disebut saja sebagai pembebasan lahan tahap I.

Menurut mantan pemimpin Kecamatan Macang Pacar tersebut, sewaktu pembebasan lahan tahap I pada tahun 2012-2013, Pemda Mabar meminta masyarakat setempat untuk menyerahkan tanah seluas dua hektare tanpa imbalan. Tanah seluas ini harus diserahkan secara iklas alias gratis oleh masyarakat petani. Alasannya, mereka harus membantu proyek negara dan mendukung pembangunan yang akan memajukan Kabupaten Mabar.

Mantan camat Macang Pacar mengisahkan bahwa karena diindoktrinasi demikian, maka para pemilik lahan di Liwuliang, Desa Bari, pada waktu itu terpaksa menyerahkan tanah seluas dua hektare kepada negara melalui Pemda Mabar tanpa ganti kerugian.

Nah kalau penyerahan lahan untuk kepentingan umum tanpa imbalan ini benar, bukankah ini merupakan sebuah praktik korupsi dan melanggar undang-undang negara?  Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012  (diterbitkan, 14/1/2012) tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pemerintah pusat atau pemerintah daerah pada dasarnya membutuhkan tanah untuk kepentingan umum (Pasal 4 ayat 1) dan harus menjamin tersedianya pendanaan untuk pembeliannya (Pasal 4 ayat 2).

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan oleh pemerintah (Pasal 6). Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil (Pasal 9 ayat 2). Alasannya jelas, pemerintah tidak bisa memperoleh tanah pribadi dari warga masyarakat untuk kepentingan umum sambil mematikan kepentingan pribadi dari warga masyarakat yang lahan pribadinya diambil.

Selanjutnya, undang-undang menyebutkan bahwa tanah-tanah untuk kepentingan umum ini, misalnya, adalah tanah untuk jalan raya, tanah untuk pelabuhan, bandar udara, gardu listrik, terminal, pasar, dan seterusnya (Pasal 10). Pendanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum bersumber dari APBN atau APBD (Pasal 52 ayat 1).  Pertanyaannya sekarang, mengapa tanah pribadi warga masyarakat Liwuliang di Desa Bari seluas dua hektare diminta untuk diserahkan bagi kepentingan umum pembangunan pelabuhan niaga tanpa ganti kerugian seperti yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 ini?

Menurut mantan camat Kecamatan Macang Pacar, sekitar akhir tahun 2018 atau awal tahun 2019, warga masyarakat Bari diinformasikan bahwa pemerintah pusat di Jakarta melalui Pemda Mabar membutuhkan lahan seluas lima hektare untuk pembangunan pelabuhan niaga di Bari. Maka Pemda Mabar sekali lagi meminta warga masyarakat di Liwuliang, Desa Bari, untuk menyerahkan lahan tambahan seluas tiga hektare dan sekali lagi mereka harus serahkan tanah untuk tahap II ini tanpa ganti rugi.

Puji Tuhan. Warga masyarakat pemilik tanah di Desa Bari menolak permintaan penyerahan lahan tahap II seluas tiga hektare ini tanpa ganti rugi. Setelah perundingan yang alot, Pemda Mabar akhirnya setuju untuk memberi imbalan secukupnya. Menurut informasi, ada 11 warga Liwuliang, Desa Bari, yang mendapat kwitansi jual tanah. Pada kuitansi jelas tertulis: “Belanja modal pembangunan dermaga peti kemas di Bari.” [Bersambung ke Mengendus Bau Korupsi (2)]

Oleh Pater Alexander Jebadu SVDDosen Ekonomi Neoliberal pada STFK Ledalero, Maumere.