Bisakah Gereja Katolik Hidup Tanpa Hierarki?

Dalam realitas hari ini, banyak ditemui kejatuhan oknum-oknum yang terbilang memiliki posisi penting di dalam struktur hierarki Gereja.

2 1,653

Katolikana.com — Dalam salah satu sesi matakuliah Mariologi, Sakramentologi, dan Eklesiologi, seorang teman melontarkan satu bahan diskusi yang sangat menarik. Teman itu bertanya, “Apakah Gereja (Katolik) bisa hidup tanpa hierarki?”

Menurutnya, latar belakang pertanyaan itu adalah banyaknya riak kemuakan terhadap realitas kejatuhan oknum-oknum yang terbilang memiliki posisi penting di dalam struktur hierarki Gereja.

Memang benar, persoalan-persoalan yang ditemukan di tubuh hierarki Gereja Katolik kadangkala cukup sulit diterima. Akan tetapi, apakah itu mesti dijadikan alasan untuk kemudian meniadakan struktur hierarki Gereja?

Tulisan sederhana ini akan berusaha memberikan ‘sedikit’ jawaban terkait persoalan itu. Sebab, barangkali saja, pertanyaan seperti ini juga hinggap di kepala para pembaca.

 

Mengapa Ada Struktur Gereja? 

Umat ​​Katolik bukanlah sekadar sekelompok orang yang berkumpul bersama karena mereka meyakini hal yang sama. Yesus mendirikan Gereja sebagai sebuah lembaga dengan struktur yang pasti.

Seiring berjalannya waktu, lembaga ini telah berkembang dengan baik dan jauh lebih pesat. Saat ini, Gereja adalah sebuah badan yang sangat kompleks dan terorganisasi dengan hukum dan sistem hukumnya sendiri.

Namun, meskipun Gereja telah berkembang sejak abad pertama, struktur dasarnya tetap sama. Yesus mendirikan lembaga ini dengan satu kepala dan sekelompok kecil pemimpin di bawah kepala itu, yakni Paus beserta para uskup sebagai penerus Santo Petrus dan para rasul.

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan: Bahkan, sejak awal pelayanan-Nya, Tuhan Yesus menetapkan dua belas murid sebagai “benih-benih Israel baru dan awal hierarki suci”. Kedua belas murid dipilih secara bersama-sama, mereka juga diutus bersama-sama, dan kesatuan persaudaraan mereka akan melayani persekutuan persaudaraan semua umat beriman: mereka akan mencerminkan dan memberi kesaksian tentang persekutuan pribadi-pribadi ilahi.

Karena alasan ini, setiap uskup menjalankan pelayanannya dari dalam dewan episkopal, dalam persekutuan dengan Uskup Roma, sebagai penerus Santo Petrus dan kepala dewan. Begitu pula para imam menjalankan pelayanan mereka dari dalam presbiterium keuskupan, di bawah arahan uskup mereka (Katekismus Gereja Katolik 877).

 

Hierarki, Dasar Seluruh Struktur Gereja

Hierarki ini menjadi fondasi utama dari seluruh struktur Gereja. Tanpa adanya hierarki, kita hanya akan menemukan sekelompok orang yang berusaha hidup sesuai dengan ajaran Yesus, tanpa organisasi yang jelas. Meskipun meneladani Yesus dan mengikuti ajaran-Nya adalah penting, itu saja tidaklah cukup.

Tanpa otoritas pengajaran yang sah untuk berbicara atas nama Yesus di bumi, pasti akan muncul banyak perbedaan pendapat tentang cara yang benar untuk mengikuti ajaran-Nya. Dalam setiap perdebatan, ada kemungkinan seseorang akan keliru dan tidak sepenuhnya mengikuti ajaran Yesus yang sejati.

Lebih dari itu, penting untuk diingat bahwa tujuan kedatangan Yesus bukan hanya untuk mengajarkan, tetapi terutama untuk membawa penebusan dan keselamatan. Tidak peduli seberapa keras usaha kita untuk hidup sesuai dengan ajaran-Nya, kita tidak dapat menyelamatkan diri kita sendiri.

Keselamatan adalah karunia adikodrati yang hanya dapat diterima dari Allah melalui Yesus Kristus. Untuk mengalami keselamatan ini, kita memerlukan hubungan yang nyata dengan Yesus, yang dapat kita peroleh melalui Gereja dan sakramen-sakramen.

Para Rasul dan penerus mereka telah mewariskan kuasa sakramental yang diberikan Kristus kepada para imam di setiap generasi.

Tanpa struktur Gereja yang ditetapkan oleh Kristus untuk tujuan ini, sakramen-sakramen tidak akan ada, dan hubungan kita dengan Kristus pun akan sirna. Selain itu, ketika Yesus menawarkan keselamatan melalui Gereja, Ia memberikan lebih dari sekadar interaksi eksternal dengan-Nya.

Salah satu istilah tradisional untuk Gereja adalah “Tubuh Mistik Kristus.” Ini bukan sekadar ungkapan kosong, tetapi mencerminkan kebenaran yang mendalam. Dengan menjadi bagian dari Gereja, kita dimasukkan ke dalam Tubuh Mistik, di mana Kristus adalah Kepala.

Tubuh harus memiliki struktur dan kemampuan untuk bertindak secara terpadu. Yesus Kristus, sebagai Kepala Tubuh, adalah prinsip pemersatu utama Gereja. Namun, Kristus memilih untuk bekerja melalui manusia, sehingga sifat terstruktur Gereja menjadi elemen penting dari Tubuh Mistik Kristus.

Kita dapat mengibaratkan hierarki dalam Gereja seperti tulang-tulang dalam tubuh fisik: Gereja lebih dari sekadar hierarki, sama halnya dengan tubuh lebih dari sekadar tulang; namun keduanya sangat penting dan harus hadir secara utuh untuk menyatukan tubuh dengan baik.

Sering kali kita mendengar orang-orang dengan niat baik mengungkapkan, “Anda dan saya adalah Gereja,” atau bahkan menyatakan “Kita adalah Gereja.” Namun, pemahaman yang lebih mendalam tentang Gereja menunjukkan bahwa pernyataan ini tidak sepenuhnya akurat.

Umat Katolik sebagai individu memang merupakan bagian dari Gereja, dan dalam arti tertentu, kita dapat dikatakan membentuk Gereja. Namun, tanpa struktur yang ditetapkan Yesus untuk menyatukan Tubuh Mistik-Nya, umat Katolik hanya akan menjadi sekelompok individu yang mengabdikan diri kepada Yesus, yang tidak cukup untuk keselamatan dan bukan rencana Tuhan.

 

Yesus Memberi Wewenang

Ada kriteria tertentu untuk menjadi anggota suatu tubuh, dan salah satu syarat untuk menjadi anggota Gereja sebagai Tubuh Kristus adalah menerima lembaga Gereja sebagaimana didirikan oleh Kristus. Kita menunjukkan bahwa kita adalah bagian dari Gereja dengan hidup sesuai dengan batasan struktur hierarkisnya.

Alkitab mencatat bahwa Kristus tidak hanya mendirikan hierarki, tetapi juga memberikan wewenang kepada Gereja-Nya. Katekismus menjelaskan hal ini dengan jelas: Yesus mempercayakan wewenang khusus kepada Petrus: “Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga”.

“Kuasa kunci-kunci” menunjukkan wewenang untuk memerintah rumah Allah, yaitu Gereja. Yesus, Sang Gembala yang Baik, meneguhkan mandat ini setelah kebangkitan-Nya: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Kuasa untuk “mengikat dan melepaskan” menyiratkan wewenang untuk mengampuni dosa, untuk menyatakan penghakiman doktrinal, dan untuk membuat keputusan disiplin di dalam Gereja.

Yesus mempercayakan wewenang ini kepada Gereja melalui pelayanan para rasul dan khususnya melalui pelayanan Petrus, satu-satunya orang yang kepadanya Ia secara khusus mempercayakan kunci-kunci kerajaan (Katekismus Gereja Katolik 553).

Jika kita menolak atau mengabaikan struktur otoritas yang ditetapkan oleh Kristus, kita tidak lagi menjadi bagian dari Tubuh. Menerima otoritas hierarkis tidak hanya berarti menerima dogma dan doktrin Gereja Katolik, meskipun itu juga penting. Penerimaan terhadap kuasa pengajaran saja mungkin membuat umat Katolik sepakat pada kebenaran yang sama, tetapi tidak cukup untuk menjadikan Gereja sebagai satu tubuh.

Misalnya, jika semua orang Indonesia memiliki cita-cita yang sama tentang kebebasan dan keadilan, tetapi tidak berada di bawah pemerintahan yang sama, kita tidak dapat menyebut Indonesia sebagai satu bangsa.

Dengan cara yang sama, agar otoritas hierarkis benar-benar menjadi prinsip penyatuan dalam Gereja, kita harus menerima hierarki sebagai otoritas pemerintahan. Setiap individu, kelompok, atau gereja lokal yang tidak berada di bawah pemerintahan hierarki tidak sepenuhnya bersatu dengan Tubuh Kristus dalam Gereja.

Seperti yang ditulis Pius XII mengenai Tubuh Mistik Kristus dalam ensikliknya Mystici Corporis , “Mereka yang terbagi dalam iman atau pemerintahan tidak dapat hidup dalam kesatuan Tubuh seperti itu, mereka juga tidak dapat menjalani kehidupan dari satu Roh Ilahi.” (Pius XII, Paus. Mystici Corporis, 29 Juni 1943, 22).

 

Realitas Supranatural

Ini tidak berarti bahwa umat Katolik tidak boleh mempertanyakan atau mengkritik keputusan anggota hierarki. Meskipun ajaran Gereja tentang iman dan moral harus diterima sebagai tidak dapat salah (dogma infalibilitas), sejarah menunjukkan bahwa para uskup dan bahkan paus tidak kebal terhadap kesalahan dan dosa.

Dalam beberapa situasi, mungkin tepat untuk mempertanyakan dan bahkan memberikan kritik yang penuh hormat terhadap tindakan dan keputusan mereka. Namun, penting untuk diingat bahwa, terlepas dari kegagalan pribadi, anggota hierarki memegang jabatan yang signifikan.

Kita sering mendengar tentang pentingnya menghormati jabatan pejabat pemerintah sipil, meskipun kita mungkin tidak menghormati individu tersebut. Dalam praktiknya, jabatan-jabatan yang bersifat duniawi dapat kehilangan rasa hormat jika orang yang menjabat sangat buruk.

Namun, jabatan dalam hierarki Gereja memiliki peran dalam konteks supernatural, terlepas dari kualitas pribadi yang memegangnya. Oleh karena itu, hierarki itu sendiri harus selalu dihormati, dan setiap umat Katolik harus dengan sadar tunduk pada otoritasnya.

Masalah-masalah seperti kendali administratif yang dimiliki seorang uskup atas keuskupannya mungkin terlihat jauh dari isu-isu tentang kasih karunia, keselamatan, dan hakikat Gereja yang mendasar. Namun, jarak antara kenyataan-kenyataan ini tidaklah sebesar yang mungkin diperkirakan.

Semua umat Katolik perlu menyadari bahwa ketika otoritas hierarki Gereja Katolik dipertanyakan, isu-isu mengenai otoritas tidak pernah sekadar masalah administratif belaka. Sebab otoritas di Gereja berbeda dari otoritas lainnya di dunia.

Sebagai orang Kristen, kita semua menginginkan persatuan dengan Yesus Kristus, dan otoritas hierarkis Paus serta para uskup berperan penting dalam menjaga kesatuan Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus.

Melalui ketundukan yang rendah hati kepada otoritas tersebut, umat Katolik diangkat secara luar biasa menjadi anggota Tubuh Mistik itu. (*)

 

Penulis: Fidelis Roy Maleng, mahasiswa ilmu filsafat Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Editor: Ageng Yudhapratama

Katolikana.com adalah media berita online independen, terbuka, dan berintegritas, menyajikan berita, informasi, dan data secara khusus seputar Gereja Katolik di Indonesia dan dunia.

2 Comments
  1. togog says

    Hirarki sumber dari otoriter dan anti kritik

    1. Antonius Blantran de Rozari says

      Oh ya? Hanya karena ada sejumlah oknum yang mencoreng citra gereja lantas anda menyimpulkan hirarki sebagai sumber masalah?
      Coba berikan saya contoh lembaga mana yang sanggup bertahan hingga dua millenia, membangun sekolah, klinik & rumah sakit dan panti asuhan, tidak hanya di kota-kota besar tapi sampai daerah terpencil. Belum lagi kalau kita bicara sumbangannya terhadap peradaban modern.
      Jangan karena hanya satu dua buah yang buruk, anda menebang pohon yang terbukti sudah menghasilkan buah yang baik

Leave A Reply

Your email address will not be published.