• Jumat, 10 November 2023

Tinjauan Kasus Econ dan Yasin dalam Perspektif Perkawinan Adat Manggarai

- Senin, 4 Juli 2022 | 18:04 WIB
Toni Mbukut  (Ist )
Toni Mbukut (Ist )

 

 

Oleh: TONI MBUKUT*


Beberapa hari ini, kita dihebohkan oleh peristiwa Econ dan Yasin di dermaga Labuan Bajo. Berdasarkan video yang beredar, kita menyaksikan bagaimana Econ memperjuangkan cintanya, tetapi kandas karena si gadis lebih memilih anjuran keluarga untuk tidak melanjutkan rajutan asmaranya dengan Econ.

Netizen menanggapi peristiwa ini dengan celotehan lucu dan beberapa yang romantis. Namun setelah membaca kesaksian dari pihak keluarga perempuan, ternyata pihak keluarga sengaja melarang hubungan Econ dan Yasin karena alasan relasi kekeluargaan yang sudah terbentuk sebelumnya antara keluarga besar dari Econ dan si Yasin.

Keduanya sempat ingin menabrak tembok relasi itu, tetapi tetap tidak berdaya di hadapan tekanan keluarga besar. Katanya si Econ dari pihak anak rona dan si yasin dari pihak anak wina. Mengapa suara keluarga besar amat berpengaruh dalam relasi Econ dan Yasin? Berikut saya akan membuat tinjauan sederhana kasus ini dalam perspektif Perkawinan Adat Manggarai.

Perkawinan bagi orang manggarai adalah sebuah peristiwa sosial. Yang menikah bukan hanya 2 individu, tetapi dua keluarga besar. Sekalipun 2 individu sudah saling mencintai, tetapi status relasi 2 keluarga besar ada halangan, mereka tidak bisa menikah. Laki-laki tidak boleh dari keluarga anak rona, sebaliknya perempuan tdk boleh dari keluarga anak wina. Selamanya anak rona akan menjadi penyedia pihak perempuan dan anak wina menjadi penyedia pihak laki-laki.

Perkawinan sebaliknya disebut jurak. Sanksinya kepu munak atau kalau 2 individu tetap nekat, sanksi beratnya adalah ketek manuk miteng. Artinya kedua orang bersangkutan dibuang oleh keluarga besar dan dianggap bukan keluarga lagi. Kenapa sanksinya berat? Jawabanya rantang cuku nungang artinya supaya jangan terulang.

Perkawinan sebaliknya (laki-laki dari pihak anak rona dan perempuan dari pihak anak wina) disebut perkawinan jurak (la sala di bajawa). Jurak termasuk kategori dosa berat. Akibatnya adalah nangki tai itang diang. Nangki tidak hanya dialami oleh dua individu bersangkutan, tetapi juga oleh kedua keluarga besar dan bahkan oleh seluruh warga kampung.

Untuk menghindari kesalahan menjalin relasi, orang tua biasanya bertanya "anak diong?" Atau "wae diong?". Gereja juga mendukung hal ini dengan mengadakan "turuk empo" atau penelusuran silsilah sebelum kanonik.
Silsilah jangan dianggap remeh. Berdasarkan silsilah lahir 3 jenis utama perkawinan menurut orang Manggarai. Pertama Tungku. Tungku adalah model perkawinan paling ideal bagi orang Manggarai. Kurang lebih ada 2 jenis tungku, yaitu tungku cu. Dalam perkawinan tungku cu, pihak laki-laki adalah anak laki-laki dari saudari kandung (anak de weta) dan pihak perempuan adalah anak perempuan dari saudara kandung (anak de nara).

Dengan demikian orang tua kedua mempelai berstatus saudara/i kandung (weta nara weda wuwung tau). Tungku cu dilarang oleh Gereja Katolik karena terhalang oleh hubungan darah dekat. Sementara jenis tungku yang lain adalah tungku neteng nara. Dalam perkawinan tungku neteng nara, anak laki-laki dari saudari sepupu menikah dengan anak perempuan dari saudara sepupu.

Kedua Cako. Cako berarti menikah dengan sesama kerabat yang berstatus ase kae. Perkawinan jenis ini tidak diidealkan, tetapi tidak dilarang keras biasanya setelah keturunan ke 7. Ada dua jenis Kawing Cako yakni Cako cama wa'u dan Cako cama salang. Cako cama wa'u berarti menikah dengan sesama kerabat dari keturunan ayah. Perkawinan jenis ini biasanya amat dilarang kalau silsilahnya masih berdekatan.

Namun jika setelah beberapa generasi ada yang terlanjur cako, maka harus ada upacara ketek jarang bolong, supaya status relasi sebagai ase kae wa'u diputus dan terjalin relasi baru sebagai woenelu. Sementara itu cako cama salang berarti menikah dengan kerabat berstatus adik kakak mama. Perkawinan jenis ini juga tidak diidealkan. Namun jika setelah beberapa generasi ada yang saling mencintai dan terlanjur menjalin relasi, keduanya tetap diperbolehkan tanpa harus menanggung sanksi berat.

Ketiga Kawing cangkang. Kawing cangkang berarti menikah dengan orang yang berlainan suku dan sebelumnya belum ada relasi kekeluargaan sama sekali. Perkawinan jenis ini adalah perkawinan yang normal dan paling umum terjadi.

Halaman:

Editor: Waldus Budiman

Tags

Artikel Terkait

Terkini

X