COVID-19, sejak awal kemunculannya, telah memorakporandakan berbagai sektor kehidupan. Situasi ekonomi menjadi kolaps. Relasi sosial ambruk dan kemiskinan kian menjadi-jadi. Banyak orang hidup menderita. Sebagian dari antara kita terancam putus asa untuk terus menjalani hidup. Terjadi arus migrasi besar-besaran. Orang kembali ke kampung halaman karena kehilangan pekerjaan di kota. Dengan itu, persoalan sosial-ekonomi semakin menumpuk. Mereka yang tidak memiliki lahan di kampung serentak menjadi beban bagi keluarga.
Gumpalan krisis
Dalam situasi yang amat mencekam dan penuh derita ini, masih saja ada orang yang berhati biadab dan kehilangan nurani. Usaha keras pemerintah dan berbagai kalangan dalam membangun konsolidasi bersama demi menyelamatkan komunitas sosial yang terpapar krisis pandemi menghadapi pukulan mematikan seperti tak ada arti. Banyak oknum, baik pada level negara maupun masyarakat, menyalahgunakan bantuan sosial demi kepentingan sendiri dan kelompok semata.
Selama ini, korupsi, permainan harga barang sesuka hati, pemecatan tanpa pesangon, penolakan terhadap perawat rumah sakit saat korona merebak, penolakan tanah untuk penguburan pasien covid-19 yang meninggal, persekusi keluarga pasien mengindikasikan gumpalan krisis di ranah sosial, politik, dan ekonomi. Sejak gencarnya program vaksinasi dan berhasilnya berbagai program pembatasan dari pemerintah, kasus harian memang menurun drastis. Situasi ini berdampak pada kegiatan dunia kerja yang mulai menggeliat kembali. Sebuah harapan besar muncul bahwa covid-19 akan segera berakhir. Banyak orang berharap situasi ini akan kembali memompa tumbuhnya aktivitas ekonomi yang kemudian memompa kebangkitan lapangan pekerjaan.
Hanya, sejak bertambahnya kasus baru varian omikron, harapan akan membaiknya situasi akibat covid-19 kembali meredup. Varian omikron kembali memperpanjang kecemasan dan rasa tidak nyaman masyarakat. Yosea Kurnianto, dalam opininya berjudul Umur Panjang Pandemi dan Kegelisahan Angkatan Kerja (Media Indonesia, 5/1) mengungkapkan kegelisahannya atas munculnya omikron. Varian baru ini kembali mengancam kehidupan kita di berbagai dimensi.
Merawat harapan
Sebagian wilayah kehidupan kita masih terpuruk akibat pandemi. Meskipun begitu, kita harus berani memulai proses pemulihan pada semua lini pergulatan hidup. Salah satu kunci dari semuanya ialah ikhtiar merawat harapan yang tersisa dari sekian banyak yang tersapu krisis pandemi. Di sini, merawat harapan berarti merawat kehidupan. Secara kasatmata, kita melihat bagaimana keterancaman kita akibat pandemi ini dari waktu ke waktu belakangan ini sudah bisa dihadapi dengan lebih optimis.
Harapan ialah daya yang menjaga kehidupan. Orang yang putus asa bisa saja memilih mengakhiri hidup. Namun, orang yang mempunyai harapan selalu memiliki alasan untuk tetap hidup. Orang yang cepat putus asa akan merasa bahwa hidupnya akan hancur dan menjadi tidak berguna, misalnya, dalam situasi setelah kehilangan pekerjaan. Namun, orang yang percaya pada harapan meyakini bahwa ada banyak cara untuk bertahan hidup. Harapan senantiasa membisikkan keyakinan bahwa dunia akan berubah menjadi lebih baik.
Pada titik keyakinan itu, perubahan tidak akan terjadi apabila diperjuangkan orang-orang putus asa. Perubahan hanya dapat digapai orang-orang yang selalu berharap. Jika tidak berharap akan perubahan, orang akan menerima begitu saja situasi penderitaan dan ketidakadilan yang dia alami sebagai sesuatu yang terberi. Orang-orang ini biasanya terperangkap dalam kepasrahan pada keadaan yang buruk. Namun, mereka yang memiliki harapan biasanya berjuang sungguh-sungguh dalam komitmen penuh atas kehidupan.
Harapan menumbuhkan optimisme. Prof Tjandra Yoga Aditama (Media Indonesia 1/1) menyebutkan lima optimisme dalam menyongsong dan menjalani 2022 ini; makin banyak penduduk bumi yang akan mendapatkan vaksinasi covid-19, akan ada obat covid-19 yang digunakan dunia, akan ada jenis vaksin baru yang lebih mudah digunakan, akan ada cara yang lebih mudah untuk mendiagnosis covid-19, dan akan meningkat kolaborasi serta kerja sama dalam menjaga kesehatan dunia.
Kita harus merajut dan menjahit kembali keyakinan yang tercabik akibat serangan pandemi ini. Ini harus menjadi ruang terbuka bagi pelibatan semua kehendak baik untuk bangkit dan meraih kemenangan utuh atas pandemi covid-19.