OLEH: Antonius Mbukut
Dosen Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero
Ajakan Pertobatan
Sejak Rabu 22 Februari 2023, umat Katolik memasuki masa prapaskah. Sepanjang masa prapaskah semua umat diajak untuk bertobat dan menyucikan diri guna menyambut Hari Raya Paskah yang mulia.
Dalam Gereja Katolik diajarkan bahwa dengan menerima sakramen babtis dosa seseorang diampuni. Namun mengapa orang masih membutuhkan sakramen tobat? Pertanyaan ini memang terkesan sederhana, tetapi sangat penting dan sering ditanyakan oleh umat kebanyakkan.
Dalam rangka menjawab pertanyaan seperti ini, Katekismus Gereja Katolik nomor 1426 menjelaskan bahwa setelah menerima sakramen babtis kecenderungan atau konkupisensi seseorang kepada dosa tidak hilang begitu saja.
Kecenderungan ini tetap tinggal di dalam diri orang yang dibaptis agar dengan bantuan rahmat Kristus mereka kembali bertobat. Gereja menyadari bahwa di antara mereka yang telah dibabtis selalu ada orang yang mudah jatuh ke dalam tingkah laku yang tidak sesuai dengan martabat anak-anak Allah yang sudah dibaharui oleh Roh dalam sakramen babtis.
Pertanyaan pokok dalam tulisan ini adalah bagaimana konsep Gereja Katolik tentang pertobatan? Bertobat selalu berarti bertobat dari dosa. Karena itu sebelum membahas konsep Gereja Katolik tentang pertobatan, saya terlebih dahulu membahas konsep mengenai dosa.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan menjelaskan panjang lebar teologi Katolik tentang dosa dan pertobatan. Saya akan fokus membahas pandangan Gereja Katolik mengenai corak multidimensional dari dosa dan pertobatan.
Baca Juga: Benarkah dengan Peraturan Gubernur NTT Masuk Sekolah Jam 5 Pagi Bisa Menghilangkan Pengangguran?
Dosa Bercorak Multidimensional
Dosa menurut Gereja Katolik pada dasarnya bercorak multidimensional. Dosa memiliki dimensi teologal, dimensi personal, dimensi sosial, dan dimensi ekologal-kosmologal.
Dimensi teologal berarti Tuhan menjadi sasaran perbuatan dosa manusia. Dosa menyebabkan rusaknya relasi manusia dengan Tuhan. Dosa berakar pada kecurigaan akan kebaikan Allah dan manusia mengingkari kenyataan bahwa hanya Allah yang menjadi dasar penjamin keberlangsungan hidupnya.
Manusia sebaliknya berusaha untuk menjamin hidupnya sendiri, sehingga akibatnya manusia terjebak dalam lingkaran penderitaan (Kirchberger, 2007).
Dimensi personal dari dosa berarti bahwa “dosa tidak hanya bersumber pada pribadi manusia tetapi juga kembali mengenai dirinya sendiri, tidak hanya dalam artian bahwa ia harus mempertanggung jawabkan tindakannya, tetapi juga dalam artian bahwa manusia mengurung dirinya sendiri (Piet Go, 2007).
Artikel Terkait
Krisis Air Minum Bersih dan Harapan Masyarakat Desa Lewat
Makna Perumpanan Iman Sebesar Biji Sesawi
Menjaga Nilai Demokrasi Pemilu 2024 melalui Pengawasan Partisipatif
Ageing Populasiont dan Bonus Demografi Kedua di Indonesia
Pemimpin Ideal ala Plato
Phubbing dan Lunturnya Nilai Filosofi “Manga Hae Raes”
Problematika Otomatisasi terhadap Kaum Buruh (Sebuah Refleksi Kritis)
Karakter Pemimpin yang Dibutuhkan Masa Kini (Refleksi Kritis Menjelang Perhelatan Pemilu 2024)
Berikut Penjelasan tentang Warna Liturgi Ungu pada Masa Prapaskah, Segera Cek!
Literasi Digital