Makna Teologis Ritus Pemba Watu Suku Deko Ria dalam Perbandingan dengan Sakramen Tobat di dalam Gereja Katolik dan Relevansinya Bagi Karya Pastoral Gereja

MASI, Fabianus (2022) Makna Teologis Ritus Pemba Watu Suku Deko Ria dalam Perbandingan dengan Sakramen Tobat di dalam Gereja Katolik dan Relevansinya Bagi Karya Pastoral Gereja. Masters thesis, IFTK Ledalero.

[img] Text
ABSTRAK.pdf

Download (1MB)
[img] Text
BAB I.pdf

Download (110kB)
[img] Text
BAB II.pdf
Restricted to Registered users only

Download (167kB)
[img] Text
BAB III.pdf
Restricted to Registered users only

Download (193kB)
[img] Text
BAB IV.pdf
Restricted to Registered users only

Download (158kB)
[img] Text
BAB V.pdf
Restricted to Registered users only

Download (152kB)
[img] Text
BAB VI-DAFTAR PUSTAKA.pdf

Download (98kB)
[img] Text
LAMPIRAN.pdf

Download (421kB)

Abstract

Tulisan ini dilatarbelakangi adanya inspirasi terhadap ritus budaya, khususnya ritus pemba watu (pangku batu) di kampung Wolowiro, suku Deko Ria. Inspirasi itu bermula dari penulis sendiri yang mengikuti ritus tersebut di tahun 2015/2016 bersama salah seorang saudara dalam Karmel yang berasal dari kampung Wolowiro. Maka ketika hendak menuliskan tesis untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna memperoleh gelar Magister Teologi Program Studi Pascaserjana Teologi Kontekstual, penulis lalu merasa tertarik dan memutuskan untuk mengkaji lebih jauh tentang hakikat dan makna dari ritus ini. Ritus pemba watu (pangku batu), bukanlah ritus yang upacaranya dilakukan setiap tahun. Ritus ini dilaksanakan apabila salah seorang menantu dalam anggota suku itu mengalami sakit atau penyakit tertentu akibat melanggar pire(larangan/haram) adat. Karena ritus ini bukanlah ritus yang dilaksanakan setiap tahun, maka sangat besar kemungkinan akan dilupakan atau tidak diketahui oleh anak-anak pada zaman ini atau pun generasi yang akan datang. Hal ini tentunya menjadi suatu kecemasan tersendiri bagi penulis. Apalagi anak-anak atau generasi saat ini kerap menganggap bahwa tradisi budaya itu adalah sesuatu yang kuno. Anggapan seperti ini dapat meruntuhkan keluhuran nilai-nilai budaya lokal. Pada hal kebiasaan-kebiasaan yang telah ditunjukkan oleh para leluhur dalam upacara ritus adat, semuanya itu memiliki arti dan makna yang sangat mendalam. Itulah sebabnya, penulis lalu mengkaji lebih jauh tentang ritus pemba watu(pangku batu) ini dan mencoba membandingkan makna teologisnya dengan makna teologis Sakramen Tobat di dalam Gereja Katolik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah penelitian lapangan dan kepustakaan. Melalui penelitian lapangan, penulis menghimpun informasi tentang masyarakat Wolowiro, khususnya orang-orang dari suku Deko Ria, terkait pemahaman ritus Pemba Watu dan tentang kehidupan sosial, serta sistem kepercayaan masyarakat Wolowiro-Lio Mbengu tentang Wujud Tertinggi, Du’a Ngga’e. Penulis terjun ke lapangan dan melakukan wawancara secara perorangan dan juga kelompok. Sedangkan melalui studi kepustakaan, penulis mengumpulkan informasi mengenai kebudayaan masyarakat Wolowiro pada umumnya dan anggota suku Deko Riapada khususnya serta menggali pemahaman ajaran Gereja Katolik tentang Sakramen Tobat. Dalam usaha melakukan pengkajian, penulis menemukan perbedaan dan kesamaan makna diantara keduanya. Perbedaan-perbedaan itu antaralain: Pertama, pemahaman tentang Dosa: Pire Adat dalam Ritu Pemba Watu dan Kategori Dosa dalam Sakramen Tobat; kedua, Peran Kepala Suku dan Bapa Pengakuan; ketiga, tata upacara yang berbeda; keempat, hakekat Pertobatan Ritus Pemba Watu dan Sakramen Tobat: Sadar akan Kesalahan, Penyesalan dan Bertobat. Sedangkan terkait kesamaan-kesamaan itu, antaralain: pertama,Ritus Pemba Watu dan Sakramen Tobat: Sebagai Ritus Pengampunan; kedua, Sebagai Ritus Perdamaian; ketiga, Sebagai Ritus Pemulihan. Dengan melihat perbedaan dan kesamaan-kesaamaan yang ada, maka Gereja mesti berpegang teguh pada tradisinya sendiri, pun sekaligus menyadari perutusannya yang universal, sehingga Gereja mampu menjalin persekutuan dengan pelbagai pola kebudayaan. Dengan demikian baik Gereja sendiri maupun pelbagai kebudayaan diperkaya (GS. 58). Atau dengan kata lain, berhadapan dengan perbedaan yang ada, terutama terkait ritus budaya setempat, Gereja semestinya bersikap terbuka, sadar akan konteks, dan tidak merasa asing dengan segala macam perbedaan yang ada dalam konteks budaya tertentu. Dalam hal ini, Gereja dituntut untuk melakukan pendekatan dengan membuka kontak dan berdialog dengan kultur budaya setempat, sehingga karya pelayanan pastoral Gereja itu lebih relevan dan menarik. Namun, akan jauh lebih relevan bagi karya pelayanan pastoral, kalau kesamaan-kesamaan makna yang ada di balik ritus budaya tersebut menjadi pembanding untuk menjelaskan kepada umat, terkait hakikat dan daya guna dari Sakramen Tobat dalam Gereja. Dengan demikian, umat pun akan mudah memahami makna di balik Sakramen Tobat sebab memiliki kesamaan makna dengan ritus yang ada dalam budaya.

Item Type: Thesis (Masters)
Uncontrolled Keywords: Ritus, Sakramen, Dosa, dan Tobat
Subjects: B Philosophy. Psychology. Religion > BR Christianity
B Philosophy. Psychology. Religion > BT Doctrinal Theology
B Philosophy. Psychology. Religion > BV Practical Theology
G Geography. Anthropology. Recreation > GT Manners and customs
Divisions: Magister Ilmu Agama/Teologi Kontekstual
Depositing User: Mr Fransiskus Xaverius Sabu
Date Deposited: 03 Aug 2022 05:27
Last Modified: 03 Aug 2022 05:27
URI: http://repository.stfkledalero.ac.id/id/eprint/1347

Actions (login required)

View Item View Item