oleh

Paroki Santo Thomas Morus, Dalam Bingkai Pastoral Keuskupan Maumere

-Agama-85 Dilihat

Oleh: Yanuarius Hilarius Role

Pada Mulanya

Tulisan ini merupakan kado kecil bagi perayaan 50 tahun kelahiran Paroki Santo Thomas Morus-Maumere. Paroki yang dibangun di pusat kota Maumere pada 22 Juni 1972 ini merupakan salah satu paroki dalam wilayah Keuskupan Maumere.

Februari 2007, tanggalnya saya lupa. Untuk pertama kalinya saya memasuki pastoran paroki Santo Thomas Morus-Maumere sebagai seorang pastor rekan. Ini adalah kelanjutan dari Surat Keputusan (SK) Uskup Keuskupan Maumere kala itu, Mgr. Vincentius Sensi Potokota. Berangkat dari satu paroki luar kota, menuju satu paroki di jantung kota Maumere, melahirkan aneka pertanyaan dan keraguan kecil dalam hati. Mampukah saya menjadi pastor bonus?

Pertanyaan kecil itu lalu menjadi semacam pemicu untuk selalu memberikan yang terbaik yang saya miliki agar mampu mewujudkan profil pastor yang baik, yang menampakan wajah Gembala Agung di tengah umat. Seorang imam muda yang masih belia. Baru berusia 2 tahun enam bulan dalam imamat, untuk pertama kalinya saya dipercayakan memikul tanggung jawab sebagai pastor di paroki kota. Meskipun baru sebatas pastor rekan, namun tanggung jawab penggembalaan tetap sama. Bersama Pastor paroki kala itu, RD. Yakobus Soba, saya coba menampilkan diri sebagai seorang pastor untuk kurang lebih 15-ribuan umat katolik di tengah hiruk pikuk kehidupan kota kecil Maumere.

Kurang lebih 2,5 tahun, saya melayani kebutuhan pastoral di paroki Santo Thomas Morus. Sebelum saya diberi tugas untuk studi lanjut di Roma pada Juni 2009. Dalam kurun waktu ini, 2007-2009 saya mencatat beberapa goresan pastoral yang diterapkan di paroki ini.

Sekilas Hasil Sinode I Keuskupan Maumere

Setelah hampir 10 tahun menjadi keuskupan tersendiri, terpisah dari Keuskupan Agung Ende, pada bulan Oktober 2013 Keuskupan Maumere mengadakan sinodenya yang pertama. Lewat proses yang panjang dan melelahkan dari tingkat KBG sampai ke tingkat keuskupan, keuskupan ini hendak meletakan dasar baru untuk pastoral selaras zaman. Sinode ini menghasilkan Rencana Strategis Pastoral Keuskupan Maumere (RSPKUM) yang menjadi acuan karya pastoral sepanjang 2014-2018 dan sesudahnya (Hubert Thomas Hasulie: 2021, 59-70). Dengan ini mimpi tentang komunitas gereja masa depan dihembuskan, direncanakan dan mulai dikerjakan. Cara kerja pastoral dan koordinasi dibangun dan dipraktekkan. Semuanya ini didorong oleh kerinduan untuk menghadirkan Kerajaan Allah secara nyata dan kontekstual.

Acuan dalam sinode pertama keuskupan ini adalah metode pastoral praktis dengan tiga pilar utamanya, yakni:

  1. Analisis Sosial (ANSOS), yakni upaya untuk memahami situasi kemasyarakatan sebagai medan pastoral konkret.
  2. Refleksi Teologis/Biblis, yakni upaya memahami kehendak dan rencana Allah dalam situasi nyata pastoral.
  3. Tanggapan Pastoral, yakni tindakan strategis untuk menanggapi situasi konkret kehidupan dalam terang kehendak dan rencana Allah.

Dalam proses sinode ini ditemukan bermacam-macam masalah pastoral yang menuntut tanggapan. Ditemukan 10 masalah pokok yang menjadi pusat perhatian karya pastoral pasca sinode yang dirumpangkan dalam lima bidang kehidupan yakni ekonomi, politik, hubungan sosial, budaya dan bidang Gereja Katolik. Ditemukan dua masalah pokok pada masing-masing bidang itu. Adapun masalah-masalah pokok itu adalah sebagai berikut:

  1. Bidang Ekonomi:
    • Pendapatan banyak keluarga masih rendah
    • Masih banyak keluarga sulit mendapatkan air bersih
  2. Bidang Politik:
    • Banyak warga belum memiliki pemahaman kritis tentang politik
    • Banyak aparat kurang peduli terhadap kesejahteraan rakyat
  3. Bidang Hubungan Sosial:
    • KDRT masih sering terjadi
    • Solidaritas antar warga masih lemah
  4. Bidang Budaya:
    • Banyak warga suka berpesta pora
    • Penanaman nilai-nilai dalam keluarga masih lemah
  5. Bidang Gereja Katolik
    • Mutu pelayanan pastoral masih lemah dalam hal wawasan, keterampilan dan komitmen
    • Orang muda dan bapak-bapak kurang terlibat dalam kegiatan Gereja

Temuan masalah pokok dalam bidang-bidang kehidupan ini kemudian dirumuskan sebagai potret buram keuskupan ini (Keuskupan Maumere: 2013, 85):

“Banyak warga masih miskin, bahkan air bersih pun sulit diperoleh. Meskipun demikian umat di keuskupan cenderung berpesta pora. Keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan Gereja terbatas pada kaum perempuan dan anak-anak, sementara orang muda dan bapak-bapak cenderung menghindar. Keluarga-keluarga berantakan karena maraknya KDRT dan lemahnya pendidikan dalam keluarga. Warga pada umumnya tidak memiliki pemahaman politik kritis sementara para petugas negara tidak peduli dan pelayan pastoral masih lemah kualitasnya.”

Berdasarkan pemahaman tentang masalah-masalah pokok pastoral, rencana serta kehendak Allah dikembangkanlah rancangan tanggapan pastoral dalam bentuk perencanaan strategis untuk jangka waktu 5 tahun dan seterusnya dalam bentuk visi, misi, strategi serta program-program pastoral.

Visi atau mimpi bersama keuskupan ini adalah Gereja Keuskupan Maumere yang beriman, sejahtera, solider dan membebaskan dalam terang Sabda Allah. Untuk mencapai mimpi ini maka keuskupan ini melahirkan misi atau tugas-tugas pokok untuk mencapai cita-cita itu yakni: perjuangan untuk mengubah situasi penindasan dalam pelbagai bidang kehidupan (ekonomi, politik, hubungan sosial, budaya dan Gereja), pemberdayaan komunitas Katolik dan masyarakat warga serta pemberdayaan Gereja untuk mampu memperjuangkan perubahan.

Selanjutnya untuk mencapai cita-cita itu juga dicanangkan strategi yang digunakan yakni pemberdayaan pelayan pastoral dan pengembangan KBG (Komunitas Basis Gerejani) sebagai komunitas perjuangan. Maka dikembangkan tujuh program pastoral: Pemberdayaan Pelayan Pastoral, Pemberdayaan Keluarga-Keluarga Katolik, Pemberdayaan Ekonomi Umat, Pemberdayaan Politik Warga, Pengembangan Solidaritas Warga, Pemberdayaan warga untuk meningkatkan ketahanannya menghadapi kecenderungan umum ke arah kesenangan dan pesta pora serta Pemberdayaan Organisasi Pastoral.

Catatan Kecil Seorang Pastor Muda

Catatan ini berdasarkan apa yang dialami kala itu. Tentu saja belum semua program pemberdayaan dilaksanakan secara menyeluruh. Juga saat itu belum ada perencanaan strategis pastoral seperti saat ini. Rekomendasi temuan Sinode I Keuskupan Maumere mengamanatkan tujuh program pastoral. Dalam catatan berikut ini saya hanya memberi perhatian pada tiga dari tujuh program pastoral itu.

1. Pastoral Pemberdayaan KBG dan Pelayan Pastoralnya

Gagasan untuk menjadikan KBG (Komunitas Basis Gerejani) sebagai lokus (tempat) dan fokus (sasaran) karya pastoral telah dicanangkan oleh keuskupan ini pasca Sidang Agung Gereja Katolik (SAGKI) tahun 2000. Pasca SAGKI, Keuskupan Agung Ende kala itu kemudian menggelar Musyawarah Pastoral (MUSPAS) ke-IV di Maumere yang waktu itu masih berstatus sebagai kevikepan. Dalam pertemuan Muspas IV itu gagasan tentang KBG telah didengungkan. KBG lalu dijadikan sebagai fokus dan lokus pastoral.

Menindaklanjuti gagasan Muspas IV KAE, paroki St. Thomas Morus kemudian menggalakan kebiasaan kunjungan pastoral ke KBG. Meskipun kunjungan itu masih sebatas perayaan ekaristi bersama, namun satu hal baik yang telah muncul di sana adalah kesediaan anggota KBG berpartisipasi dalam kegiatan kunjungan pastoral ini. Sangat kuat terasa gagasan KBG masih dipahami sebagai komunitas doa. KBG masih dilihat sebagai suatu komunitas, kumpulan orang-orang yang berdoa bersama terutama dalam masa-masa tertentu di bulan Rosario dan di bulan Kitab Suci Nasional, bulan Puasa dan Masa Advent.

Masa-masa itu biasanya orang-orang berkumpul untuk berdoa rosario dan menjalankan katekese tematis (Katekese Advent dan Katekese APP). KBG belum menjadi komunitas dimana anggota-anggotanya boleh berbicara bersama tentang aneka persoalan kehidupannya baik di bidang ekonomi, politik, budaya, relasi sosial dan Gereja. Karenanya KBG belum juga menjadi komunitas perjuangan bersama untuk mengatasi aneka soal kehidupannya.

2. Pastoral Pemberdayaan Keluarga

Pastoral yang satu ini dijalankan hanya menjelang upacara pernikahan. Pastoral pemberdayaan keluarga kala itu dijalankan melalui kegiatan KPP (Katekese Persiapan Perkawinan). Saya mendapat kesempatan untuk memberikan KPP dalam tema Sakramentalitas Perkawinan Katolik. Dalam beberapa kesempatan, KPP itu terasa hanya sebatas mendapatkan SIM (Surat Izin Menikah). Karena setelah pasangan calon nikah mendapatkan “sertifikat” telah mengikuti KPP, barulah mereka diizinkan untuk menerima sakramen perkawinan.

Pemahaman tentang pastoral pemberdayaan keluarga katolik, masih sangat sempit. Meskipun demikian satu awal yang baik telah dijalankan yakni penerimaan sakramen mesti diawali dengan persiapan yang baik. Pastoral pemberdayaan keluarga juga dijalankan melalui berbagai persiapan menjelang penerimaan sakramen-sakramen lainnya seperti persiapan penerimaan sakramen baptis dan persiapan sakramen ekaristi (komuni pertama).

3. Pastoral Pengembangan Ekonomi Umat

Pastoral di bidang yang satu ini masih sangat terbatas. Gerakan pengembangan ekonomi umat masih seputar usaha penyadaran bersama tentang manajemen keuangan keluarga pada saat KPP. Selain itu kerja pastoral di bidang ini juga terungkap dalam keterlibatan gereja paroki dalam mengembangkan koperasi-koperasi yang ada dalam wilayah paroki ini serta mendorong umat untuk terlibat dalam kebiasaan mengembangkan UBSP (Usaha Bersama Simpan Pinjam) dan kelompok-kelompok arisan sebagai usaha mengembangkan kegiatan ekonomi mikro yang sedang menggeliat tumbuh dalam wilayah paroki ini.

Pengalaman pastoral selama kurang lebih dua tahun di wilayah paroki ini mengajarkan saya banyak hal. Ada kegembiraan ketika berhadapan dengan sukacita yang dialami umat. Juga ada kegelisahan ketika mendengar banyak dari mereka yang terjebak dalam masalah yang tak terselesaikan. Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini terutama yang miskin dan terlantar, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan  murid-murid Tuhan (GS, No 1).

Akhirnya…

Paroki Stantu Thomas Morus adalah ladang kerja pastoralku kedua, setelah satu paroki lainnya. Di wilayah pastoral inilah saya belajar berpastoral secara teritorial dan kategorial. Saya terlibat dalam usaha pengembangan KBG dan juga pendampingan bagi anak-anak, orang muda dan pasangan suami-istri. Di wilayah pastoral inilah saya mulai berkenalan dengan pastoral kategorial mendampingi para mahasiswa. Tentu saja belum maksimal. Masih butuh banyak kesempatan untuk belajar dan membaharui diri dalam kerja pastoral ini.

Meskipun demikian Paroki Santu Thomas Morus telah menghadirkan jejak-jejak indah dalam pengalaman karya pastoralku. Dari sana saya belajar “pertukangan” pastoral. Menjadi “seniman” pastoral hendaknya menjadi tahapan perkembangan karya pastoralku selanjutnya.***

Komentar