Oleh: RD. Yanuarius Hilarius Role
Dalam rangka mengenang hari bersejarah, pemakluman secara defenitif berdirinya Paroki Baru, Santo Marinus Puurere pada Perayaan Pentekosta, 5 Juni 2022 dan penahbisan gedung Gerejanya pada 23 Oktober 2022 nanti, maka tulisan ini dibuat. Ini menjadi kado kecil untuk dua perayaan akbar itu.
Waktu itu, 18 tahun yang lalu. Tepatnya pada Minggu, 29 Agustus 2004. Untuk pertama kalinya seorang imam merayakan ekaristi syukurannya di halaman belakang gedung gereja Stasi Santo Marinus Puurere. Perayaan dilakukan di luar gedung gereja, mengingat daya tampung gedung gereja kala itu tidak mencukupi. Sebagaimana biasanya gedung-gedung gereja stasi kala itu dibuat tidak besar, hanya cukup untuk perayaan harian dan mingguan untuk 100-150 orang. Demikian pula gedung gereja stasi St. Marinus Puurere kala itu.
Gedung yang dibangun oleh karena kedermawanan seorang imam misionaris serikat Sabda Allah (SVD), mendiang RP. Marinus Krol, SVD – kala itu, memang diperuntukan bagi persiapan pendekatan pelayanan dan pengembangan paroki St. Yosef Onekore. Di pelataran belakang gedung gereja stasi itulah perayaan syukuran imam digelar, meskipun perayaan yang sama telah dilakukannya di pelataran depan Gedung Gereja Paroki Santo Yosef Onekore beberapa hari sebelumnya, yakni 24 Agustus 2004 setelah imam itu ditahbisan oleh Mgr. Abdon Longinus da Cunha (alm) pada 22 Agustus 2004 di Paroki Detukeli-Ende.
Perayaan misa syukur ini merupakan perayaan khusus bagi segenap anggota panitia imam baru. Perayaan itu dilaksanakan di pelataran belakang gedung gereja yang memakai nama pelindung Santo Marinus. Pemberian nama ini, merupakan ucapan terima kasih dan kenangan tak terhapuskan buat penggagas terbentuknya stasi pelayanan dan pengembangan paroki masa depan, seorang visioner misi sejati, Pater Marinus Krol, SVD. Nama paroki Santo Marinus Puurere didedikasikan buat beliau. Kenangan akan perayaan itu masih terekam indah dalam ingatan sang imam. Dia menjadi yang pertama dalam catatan kenangan Gereja Paroki Santo Marinus Puurere.
Belasan tahun telah berlalu. Kini stasi Puurere telah menjadi Paroki. Setelah melewati masa persiapan yang agak panjang maka pada perayaan Pentekosta 5 Juni 2022, Uskup Keuskupan Agung Ende, Mgr. Vincentius Sensi Potokota – telah meningkatkan statusnya menjadi paroki defenitif. Tulisan ini merupakan salah satu kado kecil bagi perkembangan komunitas Gereja Paroki Santo Marinus Puurere, dari sang imam yang merayakan misa syukur pertamanya di tempat ini, 18 tahun lalu.
Gereja: Komunitas Kaum Beriman
Georg Kirchberger, dosen dan teolog pada STFK Ledalero (sekarang telah menjadi IFTK Ledalero) dalam bukunya, Allah Menggugat membuat refleksi atas misteri Gereja dalam terang Kitab Suci Perjanjian Baru. Sambil bercermin pada gagasan Gereja menurut Paulus, Kirchberger menjelaskan dengan sangat baik tentang Gereja sebagai tubuh Kristus dan Gereja sebagai Umat Allah. (Georg Kirchberger, 2007: 388-392)
Kesatuan yang erat antara orang Kristen dan Kristus dijelaskan Paulus dengan gambaran Tubuh Kristus. Melalui sakramen baptis dan ekaristi setiap orang Kristen dimasukan ke dalam keanggotaan Tubuh Kristus yang satu (cf. 1Kor. 10:16-17). Kesatuan dengan Kristus dalam Roh itu mengakibatkan juga satu kesatuan di antara para anggota satu sama lain. Dalam surat-suratnya rasul Paulus memakai gambaran Tubuh Kristus terutama untuk memberi penekanan pada persatuan umat yang mesti menjadi dasar dari keanekaan fungsi dan karisma yang dimiliki oleh para anggota gereja. Keanekaan bukan menjadi alasan perpecahan, melainkan menjadi ekpresi kekayaan dalam gereja. (cf. 1Kor. 12; Rm. 12)
Gereja sebagai Umat Allah dijelaskan oleh Paulus dengan menggunakan istilah ekklesia. Paulus tidak memakai kata laos (umat) Allah. Kata ekklesia merupakan kata terjemahan dari kata Ibrani gahal, yang biasa digunakan dalam Perjanjian Lama untuk menyebut umat yang berkumpul untuk memperingati dan membaharui Perjanjian antara Allah dengan mereka.
Di dalam teologi Paulus, perkumpulan orang-orang Kristen disebut dengan nama he ekklesia tou theo. Ungkapan ini mau mengutarakan sebuah kenyataan bahwa umat Allah yang benar sudah dimulai ketika Allah memulai sejarah-Nya dengan umat kepilihan-Nya Israel. Akan tetapi ideal itu belum sepenuhnya terwujud. Pelaksanaan yang penuh dari umat Allah yang benar baru terjadi di dalam ekklesia tou theo yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang bukan Yahudi (kafir).
Paulus menggarisbawahi inti Israel yang kudus dan benar dilanjutkan dan disempurnakan di dalam Gereja Kristus. Karena Kristus adalah keturunan Abraham yang sejati dan di dalamnya janji Allah kepada Abraham dipenuhi, yaitu bahwa di dalam keturunannya semua bangsa diberkati (cf. Gal.3:16), maka ekklesia adalah umat Allah yang baru yang di dalamnya semua janji Allah dipenuhi demi penyelamatan segala bangsa. Umat Allah yang eskatologis itu hanya satu saja, meskipun terdapat di dalam banyak jemaat di banyak tempat. Kita ketahui bahwa Paulus menggunakan kata ekklesia dalam arti rangkap yaitu kata itu dapat menunjukkan jemaat di salah satu tempat, tetapi juga Gereja universal (IKor. 10:32; 15:9; Gal. 1:13). Ekklesia konkret adalah perwujudan yang paling asali – meskipun tidak otonom – dari ekklesia Allah yang satu.
Perwujudan paling nyata dan konkret dari ekklesia dapat kita jumpai dalam perayaan Ekaristi sebagai suatu perayaan syukur. Pada waktu itu, sebagaimana halnya dengan qahal sebagai perkumpulan umat Allah yang bertujuan untuk mengikat atau memperingati perjanjian mereka dengan YHW, sejumlah orang Kristen mengingat perjanjian baru di dalam darah Yesus Kristus. Perjanjian baru itu serentak diperingati dan dimaklumkan (bdk. 1Kor. 11:26) dan dengan cara demikian persekutuan dibentuk dan dikuatkan.
Pemberdayaan Pelayan Pastoral: Apa yang bisa dibuat?
Catatan perjalanan perkembangan Gereja dari waktu ke waktu menggariskan satu pokok penting untuk diperhatikan, yakni peran para pemipin komunitas. Dalam tulisan ini para pemimpin komunitas itu disebutkan sebagai Pelayan Pastoral. Mereka bolehlah diumpakan sebagai titik api yang akan membakar semangat pertumbuhan komunitas gereja. Sambil mesti tetap disadari bahwa pertumbuhan gereja itu sepenuhnya bergantung pada karya Roh Kudus, mengingat sifat misterinya gereja itu sendiri.
Tak dapat disangkali bahwa kenyataan yang ada dalam komunitas-komunitas gereja kita, dalam bidang personalia, betapa masih sangat lemahnya kualitas para pelayan pastoral kita. Lemahnya kualitas pelayan pastoral ini bisa dialami dalam hal pengetahuan, wawasan dan keterampilan. Hal ini tentu dipahami karena pada umumnya para pelayan pastoral kecuali para imam, biarawan/i, tidak dibekali secara baik dan pendampingannya pun tidak sistematik.
Para pelayan pastoral di tingkat komunitas yang paling kecil adalah orang-orang Katolik yang sungguh sangat baik hati, yang ingin mewujudkan panggilan kekatolikannya dalam kehidupan sehari-hari melalui tanggung jawab yang mereka terima sebagai pelayan di komunitas. Namun kemauan baik dan kebaikan hati mereka ini tidak dibarengi dengan pendampingan dan pembekalan yang memadai. Karena itu formasi bagi pemimpin sebagai pelayan umat mesti menjadi sebuah proyek besar yang dijalankan secara berkelanjutan, mencakup semua bidang kehidupan, integral dan sistemik.
Kolaborasi Imam-Awam dalam KBG
Komunitas Basis Gerejani (KBG) dipahami sebagai satuan umat yang relatif kecil dan yang mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan firman Allah, berbagi masalah sehari-hari baik masalah pribadi, kelompok maupun masalah sosial dan mencari pemecahannya dalam terang Kitab Suci, selain itu komunitas ini juga terbuka untuk membangun suatu komunitas yang merangkul juga saudara-saudara beriman lain. Komunitas Basis bukan sekedar tampak sebagai bentuk atau wadah dan bukan pula sekedar istilah atau nama, melainkan Gereja yang hidup bergerak dinamis dalam pergumulan iman (SAGKI 2000).
Dengan demikian KBG dapat dicirikan sebagai berikut (Hubert Thomas Hasulie : 2021, 66):
1. Komunitas dengan anggota yang relatif kecil baik secara territorial maupun kategorial. Secara territorial terdiri dari 20-30 keluarga dalam satu wilayah tertentu.
2. Komunitas yang berkumpul secara berkala.
3. Mensyeringkan masalah yang dihadapi dalam komunitas.
4. Merenungkan Kitab Suci
5. Mengupayakan pemecahan masalah yang dihadapi dalam terang Kitab Suci.
6. Merayakan liturgi kehidupan.
7. Terbuka untuk membentuk Komunitas Basis Manusiawi (KBM) bersama dengan saudara-saudari beriman lain.
KBG menjadi tempat yang strategis dalam usaha melihat perkembangan gereja secara menyeluruh. Tak dapat dipungkiri bahwa perkembangan KBG sangat bergantung dari kerja sama antara awam dan imam. Karena itu awam pun diberi peran dalam pelayanan pastoral seperti sebagai pengurus KBG, pemimpin ibadat, pelayanan pengajaran dan juga membuat renungan-renungan singkat serta berbagai usaha pengembangan kehidupan.
Kita percaya bahwa awam memiliki tempat yang sangat strategis dalam seluruh kegiatan pastoral. Karena itu pendampingan, penyadaran dan pembentukan awam yang terampil dalam kegiatan pastoral mesti menjadi tanggung jawab utama para imam yang nota bene telah lebih dahulu dibentuk dalam kerangka pastoral.
Peran awam sangat vital dalam kehidupan pastoral gereja. Untuk itu para awam mesti didampingi secara berkelanjutan demi mewujudkan kharisma-kharisma mereka. Yang perlu diingat bahwa pembentukan, formasi yang dijalankan mesti berkelanjutan dan integral. Bukan satu kali dan langsung jadi. Di sinilah letak ‘kepenatan’, ‘kecapehan’ yang akan dialami oleh para imam sebagai pastor, gembala ketika berhadapan dengan pendampingan berkelanjutan bagi awam. Namun ‘kepenatan’, ‘kecapehan’ ini mestinya menjadi panggilan bagi para gembala. Karena bukankah pelayanan sakramental lahir dari dan untuk pendampingan personal yang berkelanjutan?
Menggagas Formasi Pemimpin: Pelayan Umat
Formasi, secara umum berarti sebuah proses pembentukan pengalaman pribadi. Sebuah proses untuk menjadi lebih baik, mengadakan apa yang belum ada, proses yang terjadi secara terus-menerus dan menyeluruh dalam semua bidang kehidupan. Ketika kita berbicara tentang formasi, pembentukan pemimpin-pelayan umat maka kita akan berhadapan dengan tiga bidang utama yakni pembentukan spiritual, kemanusiaan dan intelektual pastoral (GIANCARLA BARBON, 2003: 15-17).
Formasi Emosi dan Spiritual:
Aspek emosi dan spiritualitas dalam formasi pemimpin umat menjadi dasar untuk seluruh proses pembentukan selanjutnya. Karena ini akan menjadi fondasi bagi kerja berikutnya. Karena itu aspek spiritual mesti menjadi langkah awal untuk proses formasi. Hal ini terungkap dalam dan melalui doa yakni relasi yang akrab dengan Allah Sang Formator utama dan sumber dari kerja pastoral.
Selain itu aspek emosi juga mesti diperhatikan dalam proses formasi. Emosi mengambil bagian penting dalam proses pembentukan kepribadian seseorang. Untuk itu perhatian kepada proses pembentukan emosi yang berimbang harus menjadi suatu keadaan yang tak terelakan (conditio sine qua non) dalam proses formasi ini.
Formasi Kemanusiaan:
Dalam bidang ini, objek formasi adalah pembentukan kemanusiaan yang utuh dan integral dalam seluruh bidang kehidupan manusia. Hal ini bisa dilakukan melalui pembentukan karakter positif. Karekater itu dibentuk dengan cara melahirkan pembiasaan-pembiasaan positif dalam diri seseorang.
Proses pembentukan karakter dapat dilalui dengan metode sebagai berikut:
1. Bangkitkan Kepercayaan: Kunci dari membangkitkan kepercayaan adalah dengan memberikan teladan atau contoh. Memberikan teladan atau contoh adalah bagian dari upaya membangkitkan kepercayaan, yang merupakan bagian inti dari perubahan seorang untuk melakukan kebaikan
2. Memperjelas Tujuan: Dengan menetapkan visi, misi, strategi apa yang diharapkan dari setiap individu dalam lingkungan masyarakat, gereja maupun keluarga.
3. Selaraskan sistem: Sistem dalam lingkungan gereja merupakan istilah yang tidak wajar apalagi dalam lingkugnan keluarga. Akan tetapi suatu hal yang harus ada dalam menerapkan tema kepemimpinan baik dalam lingkup keluarga maupun gereja. Bagaimanapun mesti ada satu tindakan strategis agar semua orang bisa menerima prinsip kepemimpinan dan bagaimana anggota komunitas harus dilibatkan, untuk menyelaraskan prinsip.
4. Keluarkan Bakat: Mengoptimalkan pertumbuhan kepribadian seseorang baik di lingkungan gereja maupun di keluarga untuk mengembangkan bakat yang sesuai dan membantu formandi untuk menemukan bakat khusus yang dimilikinya.
Selain metode yang digunakan untuk pembentukan karekater positif seseorang, juga mesti dipahami tahapan-tahapan pembetukan karakter, yakni: Pengenalan, Pemahaman, Penerapan, Pengulangan/Pembiasaan, Pembudayaan dan Penginternalisasian.
1. Pengenalan. Maksudnya adalah seorang diperkenalkan tentang hal-hal positif/hal-hal yang baik dari lingkungan, keluarga maupun gereja.
2. Pemahaman. Yang dimaksudkan adalah memberikan pengarahan atau pengertian tentang perbuatan baik yang sudah dikenalkan.
3. Penerapan. Setelah seseorang paham tentang perbuatan baik yang telah diajarkan langkah yang selanjutnya adalah penerapan. Maksud dari penerapan disini adalah memberikan kesempatan untuk menerapkan perbuatan baik yang telah diajarkan.
4. Pengulangan/Pembiasaan. Maksud dari pengulangan disini adalah setelah paham dan menerapkan perbuatan baik yang telah dikenalkan kemudian dilakukan pembiasaan, dengan cara melakakuan hal baik tersebut secara berulang-ulang agar terbiasa melakukan hal baik tersebut.
5. Pembudayaan. Disini harus diikuti dengan adanya peran serta masyarakat untuk ikut melakukan dan mendukung terciptanya pembentukan karakter baik yang telah diterapkan dalam masyarakat, lingkungan gereja maupun di dalam keluarga
6. Internalisasi menjadi karakter. Karakter seseorang akan semakin kuat jika ikut didorong adanya suatu ideologi atau believe. Jika semua sudah tercapai maka akan ada kesadaran dalam diri seseorang untuk melakukan hal yang baik tersebut tanpa adanya paksaan atau dorongan untuk melakukannya. Inilah internalisasi yang diharapkan boleh menjadi kekhasan yang ada dalam diri seorang formandi, pelayan pastoral, pemimpin umat.
Formasi Intelektual dan Keterampilan:
Bidang formasi yang tidak kalah pentingnya adalah intelektual dan keterampilan. Pembentukan intelektual seseorang bisa dilakukan dengan menciptakan budaya membaca dan menulis dalam keseharian hidup. Melalui membaca seseorang mendapat aneka informasi dan pengetahuan. Sedangkan dengan menulis seseorang dilatih untuk terampil menyalurkan ide-ide/gagasannya kepada masyarakat umum. Membaca dan menulis merupakan dua aktifitas berbahasa yang saling berkaitan. Satu tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Seorang penulis yang baik adalah juga seorang pembaca yang rajin. Demikian juga sebaliknya, seorang pembaca yang kritis adalah seorang penulis yang produktif.
Bidang formasi intelektual juga mesti dibarengi dengan pembentukan keterampilan. Ketermpilan hanya bisa diwujudnyatakan dalam keseringan untuk melatih diri dalam berorganisasi, terlibat dan memimpin aneka kegiatan pastoral. Keterampilan-keterampilan ini juga terungkap dalam kemampuan memandu pertemuan serta mampu bekerjasama dengan para pelayan pastoral lainnya.
Akhirnya, Kerja Pastoral adalah kerja kegembalaan. Dimana ini merupakan tugas utama Allah sendiri untuk membebaskan dan menyelematakan umat manusia. Karya pastoral yang sedang dikerjakan saat ini merupakan usaha kecil kita mengambil bagian dalam tugas Allah sendiri. Maka kita butuh banyak orang untuk terlibat dalam kerja kegembalaan ini.
Mudah-mudahan tulisan kecil ini boleh menjadi pemicu kerja pastoral dalam Komunitas Gereja Paroki Santo Marinus Puurere. Ngga’E berkat du limba leta…
(Sumbangan Kecil bagi Paroki Baru Santo Marinus Puurere)
Maumere, 17-07-2022
Penulis adalah putra paroki Santo Marinus Purere, kini berkarya di Keuskupan Maumere
Komentar