MIRIFICA.NET – Dalam rangka Sinode para uskup 2023, para teolog Katolik Indonesia berpartisipasi menuliskan refleksi-refleksi untuk membantu umat beriman mengalami dan menghayati Sinode yang saat ini sedang berlangsung di tingkat Keuskupan. Mari kita berefleksi bersama dalam tulisan yang diinspirasikan oleh tema ke lima dari 10 tema sinode seperti termuat dalam vademecum sinode. Lihat Paus Fransiskus Membuka Sinode Para Uskup: Merayakan Sinode Berarti Berjalan di Jalan yang Sama
Sinodalitas Gereja dan Misi
“Untuk Gereja Sinodal: Persekutuan, Partisipasi dan Misi”, demikian tema Sinode Para Uskup Sedunia yang prosesnya sedang berjalan, dibuka Paus Fransiskus pada tanggal 9 -10 Oktober 2021 dan akan mencapai puncaknya dalam pertemuan para uskup di Roma pada bulan Oktober 2023. Dalam proses sinode kali ini, gereja sebagai umat Allah diundang untuk berjalan bersama sambil merefleksikan tema sentral dalam kehidupan dan misinya, dan pada akhirnya diharapkan mampu belajar dari pengalaman dan terbantu untuk menghidupkan persekutuan (Communio), meningkatkan partisipasi dan membuka dirinya untuk misi. “Berjalan bersama” merupakan terminologi penting bagi gereja sinodal. “Berjalan bersama” adalah cara paling efektif bagi manifestasi kekhasan gereja sebagai umat Allah misioner yang sedang berziarah. Arti kata sinode sendiri merujuk pada “jalan” atau “jalan bersama” (bahasa Yunani: σύν: dengan, ὁδός: jalan). Lebih jauh istilah sinode merujuk pada Yesus sendiri yang telah menyatakan diriNya sebagai “jalan dan kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6). Orang Kristen pada hakaktnya merupakan para pengikut (di jalan) Yesus (bdk. Kis 19:9.23, 22:4, 24:14.22).2
Dalam Sinode ini Paus Fransiskus ingin mengangkat dan mengingatkan gereja pada ciri sinodalnya. Gereja pada dasarnya berciri sinodal, karena dia merupakan persekutuan yang dipanggil dan datang berhimpun bersama untuk membawakan pujian dan syukur kepada Allah. Doktrin Sensus Fidei Fidelium juga mengangkat sinodalitas gereja sebagai pendasaran bagi misi gereja, lebih konkret sebagai pendasaran untuk mengingatkan bahwa semua anggota gereja merupakan subyek aktif dari evangelisasi (misi).3 Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa, perwujudan suatu gereja sinodal menjadi prasyarat dan dorongan utama bagi pertumbuhan semangat dan realisasi misi yang melibatkan semua umat Allah.4 Dalam bingkai eklesiologi, sinodalitas secara khusus merujuk pada modus vivendi et operandi dari gereja sebagai umat Allah, yang eksistensinya dimanifestasikan sebagai persekutuan (communio) para pengikut jalan Kristus. Bentuk konkret dari persekutuan ini terrealisasi (selain dalam ekaristi) juga ketika umat berkumpul bersama dan mengambil bagian dalam tugas perutusan (misi).5
Dari penjelasan di atas bisa ditarik tiga kesimpulan berikut. Hal pertama yang mau ditekankan di sini adalah bahwa sinodalitas merupakan perwujudan dari karakter gereja sebagai „peziarah“, sebagai umat Allah yang berjalan bersama, melalui Kristus dan dalam Kristus yang adalah jalan Allah kepada manusia dan jalan manusia menuju Allah.6 Hal kedua yang mau diangkat adalah bahwa misi merupakan elemen tak terpisahkan dari sinodalitas gereja dan sinodalitas itu harus dihidupi gereja dalam misinya sebab ecclesia peregrinans natura sua missionaria est (AG 2), pada hakekatnya gereja peziarah bersifat misioner, dia eksis untuk menjalankan tugas evangelisasi. Ketiga, dalam gereja sinodal setiap orang yang dibabtis adalah agen atau pelaku atau subyek misi (misionaris), semua orang kristen dipanggil untuk mengambil bagian dalam tugas evangelisasi. Orang Kristen sebagai peziarah, sebagai orang asing dan tamu di dunia ini (1 Ptr 2:11) dilengkapi dengan karunia untuk mengemban tanggung jawab misinya, yakni untuk mewartakan Injil tentang Kerajaan Allah kepada semua makhluk hidup.7 Yang masih menjadi pertanyaan di sini adalah apa arti konkrit dari misi gereja sinodal? Pertanyaan ini akan coba dijelaskan dalam tiga pokok berikut.
Misi Gereja Sinodal: Misi Bersama Gereja Lokal
Pemahaman Misi Katolik hingga Kosili Vatikan II masih didominasi oleh model misi barat. Gereja Barat (dengan pusatnya di Roma) berperan sebagai subyek misi, pengutus para misionaris dan obyek misi adalah gereja di negara-negara yang diistilahkan sebagai tanah misi di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Gereja-gereja lokal yang baru terbentuk saat itu dianggap tidak eksis dan belum berperan untuk mengambil bagian dalam misi gereja. Upaya untuk mulai memperhatikan gereja lokal di tanah misi baru dimulai dengan dikeluarkannya Esiklika Maximum Illud (1919), Rerum Ecclesiae (1926) dan Fidei Donum (1957). Dokumen-dokumen ini, meski masih beraroma barat, telah membuka jalan bagi perluasan pemahaman misi Gereja Katolik. Konsili Vatikan II juga masih didominasi pengaruh Gereja Barat tetapi telah membawa angin segar bagi pemahaman diri gereja universal dan hubungannya dengan gereja lokal.8 Gereja universal itu sungguh eksis dalam gereja-gereja lokal atau dalam bahasa LG 23: „Gereja katolik yang satu dan tunggal berada (existit) dalam Gereja-gereja lokal dan terhimpun daripadanya”. Gereja-gereja lokal sendiri merupakan pengungkapan dari gereja universal, LG 26 menegaskan bahwa Gereja Kristus itu sungguh hadir (vere adest) dalam semua jemaat beriman setempat yang sah. Pemahaman ini membawa pengaruh terhadap perluasan pemahaman misi: kini gereja lokal menjadi agen misi yang pertama dan utama dan ini juga telah mengubah tujuan misi dan peran para misionaris serta lembaga-lembaga misi.9 Paus Paulus VI pernah menyerukan kepada umat katolik di Kampala (Uganda, 1969) bahwa, “You are missinaries to yourselves” atau Paus Yohanes Paulus II di Kamerun dan Sardinia (1985): “Like the entire Church, you are in state of mission.“10 Dengan ini seluruh dunia dinyatakan sebagai tanah misi, tidak ada lagi perbedaan antara gereja pengirim dan penerima misionaris. Dalam LG 23 ditegaskan bahwa “penyelenggaraan pewartaan Injil di seluruh dunia merupakan kewajiban badan para Gembala (gereja lokal) […..]. Maka untuk daerah-daerah misi mereka wajib sedapat mungkin menyediakan pekerja-pekerja panenan, maupun bantuan-bantuan rohani dan jasmani […..] juga dengan membangkitkan semangat kerjasama yang berkobar di antara umat beriman.” Kewajiban untuk menyediakan pekerja-pekerja panenan mengindikasikan bahwa gereja tetap membutuhkan para msionaris khusus, tetapi karya mereka dilihat sebagai bagian dari tugas keseluruhan gereja (AG 26). Para misionaris masa kini harus mengakui bahwa mereka diutus dari satu gereja lokal ke gereja lokal yang lain untuk memberi kesaksian yang tumbuh dari rasa solidaritas, untuk berjumpa secara mutual, saling memperkaya demi meneguhkan persekutuan gereja.
Misi Gereja Sinodal: Partisipasi dalam Misio Dei
“Kita menyadari secara baru, bahwa misi bukanlah pertama-tama karya kita; misi pada tempat pertama adalah Missio Dei […..]. HidupNya adalah hidup kita, perutusanNya adalah perutusan kita.“11 Misi pertama-tama adalah Missio Dei. Karena Kebaikan dan kerahimanNya, Allah telah menciptakan manusia dan mengundang mereka untuk masuk dalam persekutuan (communio) denganNya (AG 2). Dalam rencana keselamatanNya, Allah menghendaki agar semua manusia diselamatkan dan bisa memperoleh pengetahuan tentang kebenaran (1 Tim 2,4-5). Untuk mewujudkan rencana keselamatanNya, Allah telah mengutus PuteraNya yang menjadi manusia (AG 3). Untuk menyebarluaskan dan menyelesaikan karya penyelamatan ini, Yesus mengutus dari Bapa Roh Kudus yang menggerakkan gereja dari dalam (AG 4). Inilah asal misi gereja: gereja mendefiniskan tugas misinya dari perutusan Putera dan Roh Kudus (AG 2). Misiolog Bevans dan Schroeder melihat dalam dekret misi ini penegasan para Bapa Konsili atas hakekat misioner dari gereja sebagai umat Allah yang sedang berziarah (umat sinodal), sekaligus penegasan atas dasar trinitaris dari misi gereja.12 Dalam mengomentari Dekret Misi Ad Gentes ini misiolog Yves M.J. Congar menghubungkan misi gereja dengan teologi perutusan ilahi yang diperkenalkan Agustinus dan dikembangkan pada abad ke-13 dalam Teologi Skolastik, tentang perutusan pribadi Allah yang menjadi manusia (Inkarnasi) dan turunnya Roh Kudus ke atas para rasul (Pentekosta).13 Para misiolog pada umumnya mengakui bahwa penekanan pada dasar trinitaris dari misi ini merupakan pengaruh dari teologi Protestan.14 Karl Barth misalnya, dalam konferensi misi di Brandenburg (1932) menolak formulasi misi sebagai suatu aktifitas pelayanan manusia, sebagai kesaksian iman dan hanya sebagai karya gereja. Dia menekankan bahwa misi dimulai Allah dengan mengutus PuteraNya dan Roh Kudus dan dengan itu misi gereja hanyalah merupakan ketaatan pada misi Allah. Ide ini dikembangakan oleh Karl Hartenstein dengan memperkenalkan istilah Missio Dei (1934) dan membedakannya dari Missio Ecclesiae.15 Istilah Missio Dei kemudian dijadikan istilah kunci untuk misiologi dalam Konferensi Misi Sedunia (IMC) 1952 di Willingen (Jerman).
Sehubungan dengan pengertian misi sebagai partisipasi dalam Misio Dei ini AG 5 menegaskan bahwa perutusan semua orang kristen merupakan perutusan yang sama seperti perutusan Putera dan Roh Kudus, yakni untuk melaksanakan karya dan kehendak Allah, untuk mewartakan injil tentang keselematan, membawa damai dan harapan kepada dunia. Jadi misi gereja menggambarkan karya Allah, apa yang Allah perbuat hingga saat ini dan karya Allah inilah yang dilanjutkan oleh orang-orang kristen dalam tugas perutusan mereka. Di sini bisa ditegaskan kembali bahwa partisipasi dalam Misio Dei menjadi tugas konkret dari misi gereja sinodal. Partisipasi ini bukan merupakan satu tugas gereja di antara tugas-tugas yang lain, tetapi termasuk dalam hakekat gereja sinodal, menjadi unsur hakiki dalam tujuan, hidup dan struktur gereja.
Misi Gereja Sinodal: Membangun Communio
Dalam diriNya Tritunggal eksis sebagai communio. Yesus sebagai Sabda Allah keluar dari atau diutus oleh Bapa. Dalam kuasa Roh Kudus, Dia datang ke dunia untuk membawa manusia kepada persekutuan (communio) dengan Allah. Inilah dasar biblis-teologis dan misologis dari communio. Dalam perutusanNya, Yesus ingin membawa dunia ke dalam persekutuan yang sempurna dengan Allah dan ini telah dimulai dengan persekutuan antara Allah, Manusia dan dunia dalam diri Yesus sendiri.16 Gereja sendiri pada prinsipnya merupakan suatu communio (Communio-Ecclesiae) yang mengambil bagian dalam commonio trinitaris. Sebagai communio gereja harus merangkum semua keberragaman dan membawanya ke dalam kesatuan. Dalam Sinode para Uskup tahun 1985, Communio-Ekklesiologi diangkat menjadi tema sentral, dijadikan dasar pembahasan tentang hubungan antara gereja universal dan gereja partikular (lokal) serta kesatuan dan keberragaman Gereja Katolik.17
Tujuan Missio Dei adalah untuk menyelamatkan manusia dan memanggil manusia ke dalam persekutuan dan relasi yang benar dengan Allah dan dengan sesama dan ciptaan. Yesus sendiri telah memulainya dan kini menjadi bagian dari tugas perutusan gereja. Konsekuensinya bagi gereja sebagai pengikut di jalan Yesus dan umat Allah peziarah adalah bahwa gereja dipanggil untuk membangun relasi yang sehat, yang ditandai dengan kesetaraan, keadilan, kesatuan dan harmoni. Ini tetap menjadi tantangan, apalagi di dunia sekarang, di mana perpecahan dalam berbagai segi kehidupan masih terasa: ada fenomena pembagian masyarakat ke dalam kelompok mayoritas dan minoritas atau menurut etnis dan agama, perpecahan antara yang kaya dan miskin, dalam komunitas sosial masih sering terjadi kekerasan yang membawa ketercerai-beraian, politik sering lebih mengikuti minat dan kemauan ekonomis kaum kapitalis sehingga menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Selain pengaruh negatif dari konsumarisme dan materialisme, kemajuan di era digital ini telah membawa goncangan iman dan moral bagi umat manusia, khususnya bagi keluarga-keluarga dan kaum muda katolik. Realitas seperti ini menunjukan betapa pentingnya tugas misi gereja untuk membangun dan melayani comunio. Tugas ini lebih konkret bisa diwujudkan dengan memelihara cinta persaudaraan dan keramahan terhadap sesama atau terhadap “yang lain”, membangun kesediaan untuk melayani mulai dari lingkup kecil seperti dalam umat basis dan paroki.18 Misi demikian merupakan tugas yang keluar dari martabat dan tangung jawab semua orang yang dibabtis. Untuk itu dibutuhkan kerja sama semua orang berkehendak baik dan keterlibatan semua pengikut Kristus. Kerja sama antar Tarekat-tareka religius, kerja sama dengan imam diosesan dan dengan kaum awam serta kerja sama lintas gereja lokal juga sangat dibutuhkan di sini.
Satu ungkapan kunci dari communio adalah solidaritas. Solidaritas menjadi tuntuan atau persyaratan bagi persekutuan/komunitas dan bagi misi bersama. Solidaritas ini mengandung dimensi ganda: kenosis und koinonia.19 Kenosis merujuk pada pengosongan diri menurut Phil 2,6-11, ditunjukan Yesus dalam kehidupan bersama dan identifikasi dengan orang-orang kecil. Koinonia merupakan perwujudan konkret dari kenosis dangan cara bersedia untuk membagi dalam persaudaraan seperti dalam gereja perdana (Kis 4,32). Peningkatan solidaritas antara komunitas-komunitas kristen hendaknya menjadi salah satu tujuan misi gereja sinodal. Gereja-gereja lokal perlu diperkuat agar mampu mengemban tugas misi sebagai umat Allah yang bermartabat sebagai imam, raja dan nabi. Lebih luas Dekret Misi Ad Gentes mengangkat upaya untuk menyatukan semua orang kristen yang terpecah sebagai salah satu prioritas dalam misi (AG 6). Kerja sama dan dialog dengan “orang-orang kristen baru“ (Protestan) perlu ditingkatkan, persaingan yang tidak sehat dalam bermisi perlu dihindari dan gerakan dan semangat ekumene dalam berbagai bidang kehidupan perlu dikembangkan (bdk. AG 15). Ciri sinodalitas gereja sendiri sangat terbuka untuk ekumene. Sinodalitas menampakkan undangan untuk berjalan bersama menuju kesatuan atau persekutuan yang utuh, yang di dalamnya tersedia ruang bagi segala perbedaan, bagi dialog serta pertukaran pengalaman dan karunia atau karisma dalam terang kebenaran.20 Kesatuan atau communio ecclesiae yang sesungguhnya, jika tercapai, bisa menjamin kepercayaan kepada gereja, karena gereja secara bersama bisa memberi kesaksian tentang Kristus yang satu di hadapan segala bangsa. Communio ini, jika tercapai, akan menjadi tanda keberhasilan misi gereja sinodal sekaligus penjamin partisipasi dalam perwujudan Missio Dei, mewartakan Injil kepada segala makhluk, membangun dan memberi kesaksian tentang kerajaan Allah.
KEPUSTAKAAN
Bevans, Stephen B. / Schroeder, Roger P. Constants in Context. A Theology of Mission for today.
Maryknoll, New York: Orbis Books, 2004.
Bosch, David J. Transforming Mission. Paradigm Shifts in Theology of Mission. Maryknoll, New York: Orbis Books, 2006.
Congar, Yves M.J., “Theologische Grundlegung (Nr. 2-9)”, dalam Johannes SCHÜTTE (ed.), Mission nach dem Konzil. Mainz, 1967.
Generalat SVD. “Dokumente des 14. Generalkapitels” dalam Nuntius Societatis Verbi Divini. Amtsblatt S.V.D., Bd. XIV (1994-1998), Heft 1. Rom, 1994.
Generalat SVD. „Dokumente des 16. Generalkapitels SVD 2006“ dalam Generalat SVD (ed.), Im Dialog mit dem Wort, Nr. 6-September 2006. Roma: Generalat SVD, 2006.
Gomez, Filipe. “The Missionary Activity Twenty Years After Vatican II”, East Asian Pastoral Review, vol. 23, 1986.
Internationale theologische Kommission. Die Synodalität in Leben und Sendung der Kirche (= Verlautbarungen des Apostolischen Stuhls Nr. 215). Bonn: Sekretariat der Deutschen Bischofskonferenz, 2018.
Internationale theologische Kommission. Sensus Fidei und Sensus Fidelium im Leben der Kirche (= Verlautbarungen des Apostolischen Stuhls Nr. 199). Bonn: Sekretariat der Deutschen Bischofskonferenz, 2015.
Kirchberger, Georg. “Dezentralisierug und Rezentralisierung – Die Communio-Eklesiologie des II. Vatikanischen Konzils und ihre Rezeption in den 40 Jahren danach“, dalam, Verbum SVD, Fasciculus 1, Volumen 46, hlm. 57-74. Sankt Augsutin: Steyler Missionswissenschaftliches Institut, 2005.
Paus Paulus VI. Lumen Gentium (Terang Bangsa-bangsa). Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja. Dokumen Konsili Vatikan II. Penerj. R. Hardawiryana, SJ. (= Seri Dokumen Gerejawi No. 7). Jakarta: Dokpen KWI, 1990.
Paus Paulus VI. Ad Gentes (Kepada Semua Bangsa). Dekrit tentang Kegiatan Misioner Gereja. Dokumen Konsili Vatikan II. Penerj. R. Hardawiryana, SJ. (= Seri Dokumen Gerejawi No. 13) Jakarta: Dokpen KWI, 1991.
Vorbereitungskommission (ed.), 14. General Kapitelkapitel 1994. Unsere Mission als Dienst an der Communio. Arbeitspapier. Roma: Generalat SVD, 1993.
***
Penulis: Puplius Meinrad Buru, SVD1
1 Penulis pernah berkarya sebagai misionaris di Austria (pastoral paroki dan pastoral kaum muda). Gelar Magister Teologi diraih tahun 2010 pada Universitas Wina, Austria (Tesis: Mission als prophetischer Dialog. Die Entwicklung des Missionsverständnisses der Steyler Missionare seit dem Generalkapitel von 1982). Pendidikan Doktoral juga diselesaikan pada Universitas Wina pada tahun 2019 dengan Disertasi berjudul: Die Auseinandersetzung zwischen dem traditionellen und dem katholischen Opferverständnis. Eine kontextuell – theologische Untersuchung am Beispiel der Problematik des traditionellen Opferritus Hakserak in der pastoralen Arbeit beim Tetunstamm auf Timor in Indonesien. Sekarang bertugas sebagai Dosen Teologi di STFK Ledalero, Maumere, Flores.
2 Internationale theologische Kommission, die Synodalität in Leben und Sendung der Kirche (Verlautbarungen des Apostolischen Stuhls Nr. 215) (Bonn: Sekretariat der Deutschen Bischofskonferenz, 2018), no. 3, hlm. 9.
3 Internationale theologische Kommission, Sensus Fidei und Sensus Fidelium im Leben der Kirche (Verlautbarungen des Apostolischen Stuhls Nr. 199) (Bonn: Sekretariat der Deutschen Bischofskonferenz, 2015), hlm. 70.
4 Internationale theologische Kommission, die Synodalität in Leben, op.cit., no. 9, hlm. 14.
5 Ibid., no. 6, hlm. 12.
6 Ibid., no. 49, hlm. 45.
7 Ibid., no. 50, hlm. 46.
8 Georg Kirchberger, “Dezentralisierug und Rezentralisierung – Die Communio-Eklesiologie des II. Vatikanischen Konzils und ihre Rezeption in den 40 Jahren danach“ dalam Verbum SVD, Fasciculus 1, Volumen 46 (Sankt Augsutin: Missionswissenschaftliches Institut, 2005), hlm 63.
9 David J. BOSCH, Tranforming Mission. Paradigm Shifts in Theology of Mission (Maryknoll, New York: Orbis Books, 2006), hlm. 179-380.
10 Filipe Gomez, The Missionary Activity Twenty Years After Vatican II, East Asian Pastoral Review, vol 23 (Quezon City, 1986), hlm. 47-48.
11 Generalat SVD, „Dokumente des 16. Generalkapitels SVD 2006“ dalam Generalat SVD (ed.), Im Dialog mit dem Wort, Nr. 6-September 2006 (Roma: Generalat SVD, 200, hlm. 56.
12 “[…] because itself is the result of the overflowing love of God, expressed in the mission of the Son and the mission of the Holy Spirit (AG 2). Mission, therefore, is understood fundamentally as rooted in the continual self-giving and self-revelation of God within the history of creation; Trinitarian processions are understood not only as movements within the mystery of God, as such, but as God moving in saving love with the world.“ Stephen B. Bevans, / Roger P. Schroeder, Constants in Context. A Theology of Mission for today (New York: Orbis Books, 2004), hlm. 286 – 287.
13 Yves M.J. Congar, “Theologische Grundlegung” dalam: Johannes Schütte (ed.), Mission nach dem Konzil (Mainz ,1967), hlm 135.
14 BEVANS, op.cit., hlm. 289-290.
15 Ibid., hlm. 290.
16 VORBEREITUNGSKOMMISSION (ed.), 14. General Kapitelkapitel 1994. Unsere Mission als Dienst an der Communio. Arbeitspapier (Rom: Generalat SVD, 1993), hlm. 12.
17 Kirchberger, op.cit., hlm. 64-65.
18 Generalat SVD, “Dokumente des 14. Generalkapitels” dalam Nuntius Societatis Verbi Divini. Amtsblatt S.V.D., Bd. XIV (1994-1998), Heft 1, Rom, 1994, hlm. 76.
19 VORBEREITUNGSKOMMISSION, op.cit., hlm. 30-31.
20 Ibid., no. 11, hlm. 14.