Makna Teologis Lagu Tuhan Kasihanilah dan Lagu Kemuliaan Karya Wensenslaus Mbete Ditinjau dari Perspektif Model Terjemahan dan Model Antropologis Teologi Kontekstual Stephen B. Bevans dan Implikasinya Bagi Karya Pastoral Liturgi di Paroki Salib Suci Maulo’o

RAWI, Kristoforus (2022) Makna Teologis Lagu Tuhan Kasihanilah dan Lagu Kemuliaan Karya Wensenslaus Mbete Ditinjau dari Perspektif Model Terjemahan dan Model Antropologis Teologi Kontekstual Stephen B. Bevans dan Implikasinya Bagi Karya Pastoral Liturgi di Paroki Salib Suci Maulo’o. Masters thesis, STFK Ledalero.

[img] Text
ABSTRAK.pdf

Download (2MB)
[img] Text
BAB I.pdf
Restricted to Registered users only

Download (533kB)
[img] Text
BAB II.pdf
Restricted to Registered users only

Download (943kB)
[img] Text
BAB III.pdf
Restricted to Registered users only

Download (779kB)
[img] Text
BAB IV.pdf
Restricted to Registered users only

Download (780kB)
[img] Text
BAB V.pdf
Restricted to Registered users only

Download (567kB)
[img] Text
BAB VI - DAFTAR PUSTAKA.pdf

Download (1MB)
[img] Text
LAMPIRAN.pdf

Download (1MB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan pertama-tama ingin menemukan makna teologis lagu Tuhan Kasihanilah (Ngga’e Wuamesu Kami) dan lagu Kemuliaan (More Ngga’e) karya Wenseslaus Mbete dari perspektif model terjemahan dan antropologis teologi kontekstual Stephen Bevans. Dari tujuan ini pula hal yang ingin dicapai antara lain: (1) menjelaskan tentang sosok Wenseslaus Mbete dan lagu Tuhan Kasihanilah (Ngga’e Wuamesu Kami) dan lagu Kemuliaan (More Ngga’e) gubahannya. (2) Menjelaskan tentang makna-makna teologis yang terkandung dalam lagu Tuhan Kasihanilah (Ngga’e Wuamesu Kami) dan lagu Kemuliaan (More Ngga’e) karya Wenses Laus Mbete. (3) Menguraikan pemahaman tentang berteologi dalam konteks model terjemahan dan antropologis teologi kontekstual Stephen B. Bevans. (4) Menjelaskan makna teologis lagu Tuhan Kasihanilah (Ngga’e Wuamesu Kami) dan lagu Kemuliaan (More Ngga’e) karya Wenseslaus Mbete ditinjau dari perspektif model terjemahan dan antropologis teologi kontekstual Stephen B. Bevans dan (5) Mewariskan makna teologi iman katolik yang terkandung dalam lagu Tuhan Kasihanilah (Ngga’e Wuamesu Kami) dan lagu Kemuliaan (More Ngga’e) karya Wenseslaus Mbete untuk karya pastoral Liturgi di Paroki Salib Suci Maulo’o. Di sisi lain, demi memperoleh data dan informasi yang terperinci untuk mendukung penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan penelitian gabungan yakni menggunakan pendekatan studi pustaka, dan metode penelitian kualitatif (wawancara). Keduanya saling menunjang demi tercapainya tujuan penelitian sesuai dengan tema yang diangkat. Dalam hubungannya dengan tujuan penelitian ini, alasan mendasar peneliti menggarap pokok ini sejatinnya merujuk pada sebuah kerangka berpikir bahwa eksistensi Allah dapat dimaknai di dalam budaya. Sebab pada masa ini ketika berbicara tentang berteologi dalam konteks, budaya dan segala aspek di dalamnya menjadi sasaran sekaligus inpirasi baru dalam memeperkenalkan Kristus, terutama dalam melihat, menemukan dan memaknai kehadiran-Nya di dalam budaya. Sebelum Gereja berkembang dipelbagai pelosok belahan dunia, masyarakat lokal pada umumnya sudah memiliki kayakinannya sendiri. Umumnya mereka percaya tentang suatu Wujud yang paling berkuasa atas mereka dan alam semesta. Mereka menyembah Wujud itu melalui ritual, bahasa dan pola hidup mereka. Dari realitas ini dapat dikatakan bahwa sebelum Gereja Katolik dan teologinya diterima dalam masyarakat lokal, masyarakat budaya lokal tersebut sudah memiliki konsep teologinya sendiri yakni teologi tentang “Wujud Tertinggi”. Gereja Katolik dalam hal inilah, menyesuaikan realitas budaya dengan konsep teologinya. Artinya, Gereja tidak saja melulu berpatokan pada pemahaman Tuhan dari dunia Barat yang bersumber dari Kitab Suci dan tradisi, melainkan menyesuaikan pemahamannya dengan konsep teologi masyarakat budaya setempat dengan asas dasar bahwa tidak menghilangkan inti ajaran Kristiani. Dari pemahaman tentang berteologi dalam konteks ini, penulis terdorong untuk melihat makna teologi budaya Lio akan “Wujud Tertinggi” yang disebut Du’a Ngga’e dan menemukan teologi Gereja Katolik di dalamnya. Masyarakat budaya Lio umumnya meyakini bahwa ada sebuah Wujud yang berkuasa atas manusia dan alam semesta yang di sebut Du’a Ngga’e. Du’a Ngga’e selalu dinilai sebagai “Wujud Tertinggi” yang dapat memberikan kebahagian dan kesejahteraan di bumi dan di akhirat. Kayakinan demikian memposisikan Du’a Ngga’e sebagai wujud yang patut disembah. Masyarakat budaya Lio biasanya mengungkapkan penyembahannya kepada Du’a Ngga’e melalui pelbagai ritual. Semua ritual yang dijalankan umumnya diungkapkan dalam bentuk tarian (Bedu Bebu), doa dan pujian (ngaji-ndenda), syair-syair adat (suasasa) dan pelbagai bentuk ritual lainnya. Ini semua merupakan eksperesi diri dan pengungkapan iman mereka terhadap “Wujud Tertinggi”. Pola pengungkapan keyakinan kepada Du’a Ngga’e ini masih bertahan hingga saat ini. Ketika Gereja Katolik berkembang dan masuk ke dalam budaya Lio, konsep tentang penyembahan akan “Wujud Tertinggi” ini mengalami pengembangan pemahaman tentang Du’a Ngga’e. Masyarakat budaya Lio diyakinkan oleh Gereja bahwa konsep tetang Du’a Ngga’e mendapat pemahaman yang sempurna tentang Tuhan dalam Gereja Katolik. Secara umum hal ini diterima oleh masyarakat Lio pada umumnya. Dari konsep Tuhan dalam Gereja Katolik ini, lahirlah pelbagai upaya masyarakat untuk memahami konsep Tuhan itu sesuai dengan budaya Lio. Hal ini biasa terungkap dalam doa, tarian, syair adat dan juga lagu-lagu rohani dalam budaya Lio. Salah satu tokoh adat dalam budaya Lio, khususnya di daerah Lio Paga- kabupaten Sikka yakni Wensenslaus Mbete (74 tahun) yang akrab disapa Wenseslaus Mbete menjadi salah satu tokoh yang berperan aktif menyesuaikan lagu-lagu liturgi Gereja Katolik dengan pemahaman teologi “Wujud Tertinggi” dalam budaya Lio. Salah satu yang menjadi aspek dasar yang ditampilkan dalam lagu-lagu ciptaannya ialah tentang penggunaan bahasa adat budaya Lio kepada “Wujud Tertinggi” ke dalam konsep dasar nyanyian dalam Liturgi Gereja. Hal ini bertujuan agar membantu umat yang berbudaya Lio yang kurang memahami nilai teologis dari lagu-lagu Liturgi dalam bahasa Indonesia atau pun bahasa lainnya, bisa memahaminya melalui lagu-lagu gubahannya. Sebab lagu-lagu yang digubah oleh Wensenslaus Mbete pada umumnya disesuaikan dengan rasa bahasa budaya setempat dalam mengungkapkan keyakinan mereka kepada “Wujud Tertinggi”. Dari proses penyesuaian konsep ke-Tuhanan dalam lagu-lagu Liturgi yang diciptakan oleh Wenseslaus Mbete ini, penulis pun secara khusus ingin mencari dan menemukan makna teologi Katolik yang terkandung di dalam lagu Tuha Kasihanilah (Ngga’e Wuamesu Kami) dan lagu Kemuliaan (More Ngga’e) . Dalam konteks ini, penulis secara khusus mendalami karya Wenseslaus Mbete dari prespektif model terjemahan dan model antropologis teologi kontekstual Stephen B. Bevans. Alasan mendasar penulis menggunakan kedua model ini karena, pertama, model terjemahan menerapkan cara berteologi dengan pada awalnya menempatkan Injil ke dalam konteks. Injil dapat secara bebas diterjemahkan ke dalam pelbagai budaya dengan tidak menghilangkan inti ajarannya. Dalam hal ini, model terjemahan menekankan bahwa setiap terjemahan harus menjadi terjemahan makna, bukan melulu kata perkata. Kedua, model antropologis menerapkan cara berteologi yang bermula dari konteks lalu menganalisisnya, mendengarkannya dan memindai cara-cara Allah berfirman melalui konteks. Sama seperti model terjemahan yang menekankan pentingnya amanat wahyu yang terkandung dalam Alkitab dan tradisi ke dalam konteks, demikian pula model antropologis merasakan kehadiran Allah dalam seluruh pengalaman kehidupan manusia yang serba aneka di dalam budaya. Oleh karena itu, kedua model inilah menjadi titik tolak penulis dalam menemukan makna teologis dalam lagu Tuhan Kasihanilah dan lagu Kemuliaan karya Wenseslaus Mbete. Ada pun alasan mendasar lainnya penulis memutuskan untuk menggarap pokok ini. Dalam Liturgi Gereja Katolik ditegaskan bahwa semua orang beriman dibimbing ke arah keikut-sertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan Liturgi. Dalam hal ini telah menjadi kesan umum bahwa realitas partisipasi dan pemahaman umat Paroki Salib Suci Maulo’o tentang makna dari lagu Tuhan Kasihanilah dan lagu Kemuliaan dalam Liturgi Gereja yang dinyanyikan dalam bahasa Indonesia atau pun bahasa asing lainnya, masih sangat rendah. Hal ini disebabkan karena ketidakpahaman mereka tentang lagu-lagu yang dinyanyikan. Mereka merasa sulit untuk mengerti dan menghayati semua ungkapan iman dalam lagu-lagu tersebut, karena dianggap tidak menyentuh konteks budaya dan realitas hidup mereka. Meskipun hal ini tidak semua umat di Paroki Salib Suci Maulo’o mengalaminya, tetapi kesan umat pada umumnya mempersoalkan hal ini. Dari persoalan di atas, penulis menemukan bahwa nilai partisipasi dalam menyanyikan lagu-lagu liturgi pada umumnya banyak umat akan terlibat aktif ketika menyanyikan lagu-lagunya ciptaan Wenseslaus Mbete. Keterlibatan aktif ini bukan semata karena lagu-lagunya dinyanyikan dengan irama bertandak daerah Lio, melainkan lebih dari itu nyayian tersebut menggunakan lirik bahasa daerah Lio yang biasa dipakai kepada “wujud tertinggi” dalam seluruh ritual dan kebiasaan mereka. Hal inilah yang menyentuh hati mereka dan membuat mereka berpartisipasi aktif dalam memuji Tuhan, meskipun mereka tidak tahu bahwa lirik lagu tersebut mengandung makna teologi Katolik. Dari kenyataan ini, penulis ingin mendalami dan menemukan makna teologi Katolik dari lagu-lagu Wenseslaus Mbete, khususnya lagu Tuhan Kasihanilah dan lagu Kemuliaan sebagai sebuah sumber pengetahuan bagi penghayatan iman umat dan budaya sekaligus sebagai inspirasi untuk selalu turut berpartisipasi dalam menyanyikan lagu-lagu Liturgi Gereja sehingga dapat menjadi sumbangan yang berguna bagi karya pastoral Liturgi di Paroki Salib Suci Maulo’o. Dari proses inilah, harta terindah tentang Tuhan dalam pandangan masyarakat budaya Lio yang tampak dalam lagu Tuhan Kasihanilah (Ngga’e Wuamesu Kami) dan lagu Kemuliaan (More Ngga’e) karya Wenseslaus Mbete pun masih bisa dipelajari dan dihayati oleh semua umat Paroki Salib Suci Maulo’o serta dapat menjadi warisan iman budaya untuk dinikmati generasi mendatang pada setiap jamannya.

Item Type: Thesis (Masters)
Uncontrolled Keywords: Konteks, teologi lokal, teologi kontekstual, lagu-lagu ordinarium, model terjemahan, dan model antropologis
Subjects: 200 – Agama > 230 Teologi Kristen > 230 Agama Kristen, Teologi Kristen
200 – Agama > 260 Teologi sosial dan gerejawi > 265 Sakramen dan ritual lain dalam Kristen
Divisions: 77101 Ilmu Agama/Teologi Katolik
Depositing User: Mr Fransiskus Xaverius Sabu
Date Deposited: 25 Feb 2022 01:41
Last Modified: 07 May 2024 04:45
URI: http://repository.iftkledalero.ac.id/id/eprint/1100

Actions (login required)

View Item View Item